Kurikulum dan Keteladanan
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Imam As Sa’dy mengatakan di dalam tafsirnya, “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik yaitu dari sisi di mana beliau menghadiri sendiri suara hiruk pikuk dan langsung terjun ke medan laga. Beliau adalah orang yang mulia dan pahlawan yang gagah berani. Lalu bagaimana kalian menjauhkan diri kalian dari perkara yang Rasulullah bersungguh-sungguh melaluinya seorang diri? Maka jadikanlah dia sebagai panutan kalian dalam perkara ini dan sebagainya.”
Perbincangan tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kurikulum dan pengajar. Ada semacam idiom dalam kajian ilmu kurikulum yaitu, “Kalau ingin tahu bagaimana arah sebuah institusi pendidikan untuk beberapa tahun ke depan, lihat saja kurikulum pendidikan yang berlaku di institusi pendidikan tersebut”. Kalimat ini memberikan makna bahwa bentuk kurikulum pendidikan yang berlaku di sebuah Institusi pendidikan akan menentukan bentuk seperti apa yang diinginkan oleh institusi pendidikan tersebut dalam membentuk outcome-nya. Inilah pula yang menyebabkan kurikulum pendidikan sebuah institusi pendidikan belum tentu cocok di institusi pendidikan lain atau sebaliknya. Ketidakcocokan tersebut disebabkan oleh perbedaan ideologi dan falsafah hidup institusi pendidikan masing-masing.
Secara konseptual, kita telah menyadari perlunya penanaman nilai-nilai karakter kepada generasi muda. Keberhasilan penumbuhkembangan nilai-nilai karaker tersebut memerlukan keteladan dari semua pihak, bukan semata-mata mengadalkan penerapan kurikulum. Keteladan tersebut harus ditunjukkan oleh semua orang yang merasa bertanggung jawab akan kelangsung kehidupan untuk masa mendatang. Ketelandan tersebut juga harus dicontohkan sebab keteladanan bukan hanya pengetahuan tetapi sikap mental yang merasuk kedalam jiwa. Pemerintah, masyarakat, keluarga, warga sekolah, dan individu pelajar itu sendiri harus menjadi contoh untuk melakukan keteladan dalam setiap aspek kehidupan dan perbuatan sehari-hari.
Sekedar memberikan contoh bentuk keteladan Rasullulah. Terdapatlah seorang pengemis Yahudi buta yang setiap hari menempati salah satu sudut pasar di Kota Madinah. Bukan cuma mengemis, Ia juga berseru kepada orang-orang yang berlalu-lalang di pasar tersebut, “Jangan dekati Muhammad! Jauhi dia! Jauhi dia! Dia orang gila. Dia itu penyihir. Jika kalian mendekatinya maka kalian akan terpengaruh olehnya.” Hampir setiap hari, pengemis tersebut di temani oleh seseorang di sampingnya. Orang tersebut dengan lemah lembut dan kasih sayang menyuapi. Orang tersebut hanya terdiam saat teriakan makian dan hinaan itu keluar dari mulut Yahudi buta tersebut. Ia terus menyuapi makanan ke mulut pengemis itu hingga habis.
Sampai pada suatu hari, si Pengemis Yahudi Buta tidak lagi ditemani lagi oleh orang yang menyuapinya. Kemudian datanglah orang lain yang membawakan nasi bungkus untuknya dan menawarkan diri untuk menyuapinya. Orang tersebut adalah Abu Bakar Ash Shiddiq. Mendengar setiap cacian, ia berusaha menahan diri dan berusaha dengan lemah lembut menawarkan diri untuk memberi makan. Namun bukan rasa terima kasih yang di dapat, justru penyangkalan dan hardikan keras yang didapat. “Kau bukan orang yang biasa memberiku makanan,” hardik si pengemis buta. “Aku orang yang biasa,” kata Abu Bakar. “Tidak. Kau bukan orang yang biasa ke sini untuk memberiku makanan. Apabila dia yang datang, maka tak susah tangan ini memegang dan tak susah mulutku mengunyah. Dia selalu menghaluskan terlebih dahulu makanan yang akan disuapinya ke mulutku.” Begitulah penyangkalan si pengemis buta kepada Abu Bakar.
Mendengar perkataan pengemis buta tersebut, Abu Bakar tak kuasa membendung rasa harunya dan berkata, “Memang, benar, Aku bukan orang yang biasa datang membawa makanan dan memberimu suapan atas makanan itu. Aku memang tidak bisa selemah lembut orang itu.” “Ketahuilah bahwa Aku adalah salah satu sahabat orang yang setiap hari menyuapimu tersebut. Orang yang dulu biasa ke sini dan memberimu makan dan menyuapimu telah wafat. Aku hanya ingin melanjutkan amalan yang ditinggalkan orang tersebut, karena Aku tidak ingin melewatkan satu pun amalannya setelah kepergiannya.”
Si pengemis buta Yahudi tersebut terdiam sejenak dan bertanya kepada Abu Bakar siapa orang yang selama ini memberinya makan dan juga menyuapinya. “Ketahuilah, bahwa Ia adalah Muhammad, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Orang yang setiap hari kau hinakan dan kau rendahkan di depan orang banyak di pasar ini,” jawab Abu Bakar. Si pengemis Yahudi yang buta itu tertegun. Tak ada kata kata yang keluar dari mulutnya, namun tampak bibirnya bergetar. Air mata pengemis buta itu perlahan jatuh membasahi pipinya yang mulai berkeriput. Si pengemis buta tersadar, betapa orang yang selama ini ia hinakan justru memperlakukannya dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Ia justru malah merasa lebih hina dari apapun yang ada di dunia ini. “Selama ini aku telah menghinanya, memfitnahnya, bahkan saat Muhammad sedang menyuapi aku. Tapi dia tidak pernah memarahiku. Dia malah dengan sabar melembutkan makanan yang di masukkan ke dalam mulutku. Dia begitu mulia.” Kata pengemis buta dalam tangisnya. Pada saat itu juga, Si Pengemis Yahudi buta bersaksi di hadapan Abu Bakar Ash Shiddiq, mengucapkan dua kalimat syahadat ‘La ilaha illallah. Muhammadar Rasulullah.’ Si Pengemis buta memilih memeluk Islam setelah cacian dan sumpah serapahnya kepada Muhammad SAW dibalas dengan kasih sayang oleh nabi akhir zaman tersebut.
Melalui kisah keteladanan tersebut, kita dapat mengambil hikmah dan menerapkannya dalam mengaplikasikan kurikulum pada proses belajar mengajar. Beberapa hikmah diantaranya adalah menumbuhkan kasih sayang terhadap peserta didik serta menyertakan dalam proses penyampaian knowledge, menyampaiakan materi pembelajaran dengan sepenuh hati melalui berbagai mekanisme penyampaian materi, kesabaran dalam mendengarkan setiap keluhan, terus bekerja secara istiqomah, dan tidak menampakan ego keakuan.
Tugas sebagai pendidik akan menjadi ladang amal dan dituntut untuk memberikan pengajaran yang terintegral dan holistik. Menjadi pendidik tidak hanya mengajar peserta didik menjadi cerdas dan tahu ilmu pengetahuan, tapi mendidik dengan dedikasi tinggi (ikhlas) serta penuh keteladanan. Peserta didik akan menjadikan tenaga pendidik sebagai suri tauladan dalam menyerap ilmu pengetahuan dan mengaplikasikannya di masyarakat. Wallahu’alam.
Penulis:
Yuli Agusti Rochman, ST., M.Eng
KaProdi Teknik Industri UII