MENGAJAR SEBAGAI “LADANG AMAL”; SEBUAH AUTO KRITIK

Mengajar adalah salah satu tugas pokok dosen di samping penelitian, pengabdian masyarakat, dan dakwah Islamiyah. Sebagai dosen yang beragama Islam, mengajar bagi kita bukan hanya menjadi mata pencaharian tapi juga merupakan suatu ibadah. Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana caranya agar mengajar tidak hanya sekedar menjadi “ladang uang”, namun juga bisa menjadi “ladang amal” untuk kita?

Keutamaan mengajar
Beruntunglah orang-orang yang berilmu. Allah SWT meninggikan derajatnya di atas manusia rata-rata. Sebuah nikmat yang tidak bisa dimiliki oleh semua orang. Oleh sebab itu, wajar jika orang yang berilmu dituntut tanggung jawab lebih karena ilmu yang dimiliki. Di satu pihak ilmu adalah nikmat untuknya, di pihak lain ilmu adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.

“…. niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat….” (Q.S. Al-Mujadilah : 11).

Menyampaikan ilmu dan menyebarluaskannya kepada orang lain hukumnya wajib. Allah SWT berfirman:

“…. Dan Kami turunkan kepadamu az-Zikr (al-Quran) agar kamu terangkan kepada para manusia apa yang akan diturunkan kepada mereka, dan agar mereka berpikir.” (Q.S. An-Nahl : 44)

Ada banyak keutamaan orang yang berilmu dan mengajarkan ilmu yang disebutkan dalam Al Quran dan Al Hadits. Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Keutamaan seorang yang berilmu atau ahli ibadah adalah sebagaimana keutamaanku atas orang yang terendah dari kalian.”

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang soleh.” (HR. Muslim)

“Jadilah engkau orang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mau mendengarkan ilmu, atau orang yang menyukai ilmu. Dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima, maka engkau akan celaka.” (HR. Baihaqi)

Re-orientasi niat mengajar
Mencermati nash-nash tentang keutamaan mengajarkan ilmu, sebagai dosen harusnya kita menumbuhkan kesadaran dalam memperbanyak bekal amal shaleh. Re-orientasi niat mengajar adalah salah satu cara untuk itu. Jika selama ini mengajar kita lakukan untuk menggugurkan kewajiban, maka niat itu sekarang harus kita perbaiki, mengajar adalah proses mengolah “ladang amal”. Karena kebahagiaan hanya dapat diraih dengan amal kebaikan dan menyebarkan manfaat kepada orang lain.
Sebagaimana kita pahami, ilmu adalah investasi yang abadi. Rasulullah SAW telah menggambarkan, ilmu tidak pernah berkurang saat dibagi, bahkan bisa melimpah dengan berkahnya. Ilmu tidak akan habis atau hilang walau dibagi semuanya kepada orang lain. Pahala ilmu tidak akan terhenti meski pemiliknya meninggal dunia.

Adab dalam mengajar
Calon mahasiswa di awal perkuliahan biasanya mendapatkan materi adab dalam belajar, idealnya calon dosen atau dosen pemula juga mendapatkan materi adab dalam mengajar. Sayangnya, dalam kegiatan pra-jabatan dosen lebih menekankan pada materi metode mengajar daripada adab mengajar. Metode dengan adab mengajar dua hal yang berbeda. Adab mengajar untuk menghadirkan jiwa dosen dalam sebuah kelas, sedangkan metode adalah cara mengajar.
Mengadopsi adab mengajar K.H. Hasyim Asyari yang ditulis oleh Ilham Kadir, berikut ini beberapa adab yang perlu kita perhatikan dalam rangka menjadikan kegiatan mengajar sebagai proses mengolah “ladang amal”:
1. Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan
2. Menghindarkan ketidakikhlasan dan mengejar keduniawian
3. Hendaknya selalu melakukan muhasabah (instropeksi diri)
4. Menggunakan metode yang mudah dipahami
5. Membangkitkan antusias mahasiswa dan memotivasinya
6. Memberikan latihan-latihan yang sifatnya membantu
7. Selalu memperhatikan kemampuan mahasiswa
8. Tidak terlalu mengorbitkan salah seorang mahasiswa dan menafikan yang lainnya
9. Mengarahkan minat mahasiswa
10. Bersikap terbuka dan lapang dada terhadap mahasiswa
11. Membantu memecahkan masalah dan kesulitan mahasiswa
12. Bila ada mahasiswa yang berhalangan hendaknya mencari hal ikhwal kepada teman-temannya
13. Tunjukkan sikap arif dan penyayang kepada mahasiswa
14. Selalu rendah hati, tawadhu

Mengajar dengan jiwa
Ada mahfudzat yang berbunyi: Ath-thariqah ahammu minal madah (metode lebih penting dari materi ajar/kurikulum), al-mudarris ahammu min ath-thariqah (pengajar lebih penting dari metode), wa ruhul mudarris ahammdu min mudarris (jiwa pengajar lebih bermakna dari pengajar). Ini sesuai dengan pendapat Sir Pency Nunn, guru besar pendidikan di University of London yang mengatakan bahwa baik buruknya suatu pendidikan tergantung kebaikan, kebijakan, dan kecerdasan pengajar.
Menurut Adian Husaini, jiwa pengajar adalah kunci kemajuan pendidikan sekaligus kemajuan bangsa. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang bersih dari penyakit syirik, dengki, riya’, nifak, sombong, cinta dunia, gila jabatan, penakut, lemah semangat, dan sebagainya.

Meningkatkan pengetahuan
Setiap muslim mempunyai dua kewajiban yang berkaitan dengan ilmu, yaitu belajar dan mengajar. Mengajarkan ilmu itu wajib, demikian juga mencari ilmu juga wajib. Hal ini tentu saja berlaku bagi kita sebagai dosen. Memperbanyak modal ilmu adalah kewajiban kita. Seluas ilmu yang kita miliki sebentang itu pula manfaat ilmu yang dapat kita tebar.
Ada sebuah ungkapan yang berbunyi, faqidu asy-syai la yu’thi (orang yang tidak memiliki sesuatu tidak mungkin bisa memberikan sesuatu). Oleh karena itu, meningkatkan pengetahuan harus selalu kita lakukan agar kita bisa memberi lebih banyak manfaat.

Kembangkan kemampuan menulis dan publikasi
Para salafus shaleh dan ulama-ulama kita adalah generasi yang sangat produktif dalam membuat tulisan. Ribuan kitab yang menjadi rujukan umat Islam dalam hal tafsir, fiqih, aqidah, ahlak, serta ilmu pengetahuan alam, merupakan buah karya dari tradisi ilmu yang dimiliki oleh ulama-ulama kita di masa lalu dan hingga kini menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan modern. Dengan teladan ini seharusnya kita sebagai dosen lebih produktif dalam melahirkan tulisan-tulisan yang bermanfaat.
Fathul Wahid mengatakan, slogan “publish or perish” (publikasi atau mati mendadak) sangat terkenal di kalangan akademisi Amerika. Menurutnya, publikasi memegang peranan sangat penting dalam tradisi keilmuan. Dengan publikasi itu, hasil-hasil penelitian dapat disampaikan kepada audien yang lebih luas, dan akan membuka pintu kemanfaatan yang lebih lebar.

Mahasiswa sebagai partnership
Dalam usaha memperbanyak modal ilmu, sebaiknya mahasiswa kita libatkan. Mahasiswa hendaknya tidak lagi menjadi obyek namun dijadikan subyek dalam kegiatan perkuliahan, sehingga proses transfer ilmu pengetahuan bisa terjadi dalam dua arah. Dengan kata lain, mahasiswa adalah partnership kita dalam meningkatkan pengetahuan. Caranya adalah dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menyampaikan topik yang telah mereka pelajari terlebih dahulu sebelum kita memberikan materi kuliah. Berdasarkan pengalaman, ada banyak pengetahuan baru yang bisa diperoleh dari apa yang disampaikan mahasiswa, yang tidak penulis dapatkan sebelumnya. Memberikan pujian dan nilai yang baik kepada mereka adalah bentuk-bentuk penghargaan yang bisa kita berikan. Biasanya mahasiswa akan lebih antusias dan termotivasi untuk belajar. Tentu saja belajar mandiri tetap harus selalu dilakukan oleh setiap dosen.
Sekali lagi kita ingat, setiap kita wajib menjadi pengajar atau pembelajar atau keduanya. Allah berfirman dalam Al Quran Surah Ali Imran ayat 79:

“…. Hendaknya kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”

Wallahu a’lam bishawab

 

Penulis:

Qurtubi, ST., MT.
Dosen Teknik Industri