System Thinking dalam Membentuk Intelektual Muslim di Era Informasi

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, buah karya Al-Imam Al-Ghazali, dikisahkan terdapat seekor makhluk yang datang ke suatu desa yang berisi orang-orang buta. Masing-masing dari mereka memegang salah satu bagian dari makhluk tersebut dan mendeskripsikan kepada yang lain tentang seperti apa bentuk dan nama makhluk yang sedang mereka terka ini. Ada yang mengatakan bahwa makhluk tersebut adalah ular karena bentuknya yang panjang dan bisa meliuk-liuk sejenis ular piton. Ada juga yang mengatakan bahwa itu bukan makhluk hidup, tapi hanyalah sebuah karpet karena bentuknya yang lebar, tebal, dan bisa digulung. Namun ada juga yang cukup percaya diri dan mengatakan bahwa jawaban mereka semua adalah salah, dan menjawab bahwa itu adalah sebuah tiang bangunan karena ukurannya besar dan tinggi, seukuran dengan tiang bangunan pada umumnya. Tetapi realitanya mereka semua mengemukakan jawaban yang salah karena makhluk yang sebenarnya mereka raba adalah gajah. Persepsi bahwa makhluk tersebut adalah ular, muncul karena yang dipegang adalah bagian belalai. Persepsi karpet muncul karena yang dipegang adalah telinga, sedangkan persepsi tiang bangunan muncul karena yang dipegang adalah kaki gajah. Kesalahan persepsi timbul karena mereka hanya mengenali suatu objek hanya dari satu bagian saja, dengan kata lain tidak mempelajari suatu objek secara menyeluruh.

Berkaca pada cerita di atas, dalam kehidupan sehari-hari kita pun terbiasa untuk melihat suatu masalah berdasarkan bagian-bagian tertentu, dan bukan memahaminya sebagai suatu cakupan yang sifatnya menyeluruh atau yang dikenal sebagai sistem. Kita cenderung melihat suatu masalah, mencerna informasi, dan pada akhirnya merasa cocok dengan pendapat tertentu yang mirip dengan atribut maupun kepentingan yang kita miliki. Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan pada Journal of Economic Literature tahun 2017, fenomena ini disebut sebagai information avoidance, yaitu fenomena yang menggambarkan bagaimana orang-orang memilih realitas mereka sendiri, yaitu dengan sengaja menghindari informasi yang mengancam kebahagiaan dan kesejahteraan mereka. Sebagai contoh, beberapa orang akan memilih untuk tidak melihat kandungan kolesterol maupun kalori dalam makanan favoritnya dan tetap menyantapnya, atau contoh lain, beberapa orang hanya akan memilih sumber berita atau judul artikel tertentu yang mereka pikir sesuai dengan ideologi politiknya.

Kecenderungan untuk menghindari informasi tentu berbahaya, karena membuat kita tidak mampu lagi melihat suatu masalah secara sistem atau menyeluruh, namun hanya melihat dari bagian-bagian tertentu yang hanya kita sukai, dianggap menarik dan cocok dengan atribut-atribut subjektif. Sedangkan di dalam Q.S Al-Baqarah (2) ayat 216, Allah SWT berfirman yang artinya:

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Ayat tersebut merupakan peringatan kepada kita, untuk berhati-hati dalam menyukai atau membenci suatu hal. Selain itu, dalam ayat tersebut kita juga diingatkan bahwa kita manusia sebenarnya memiliki pengetahuan yang tidak seberapa karena ada hal-hal yang kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Oleh karena itu disinilah pentingnya kita untuk terus belajar, mencari informasi dengan pikiran yang terbuka sehingga kita mampu menerima kebenaran tanpa harus memilih-milih yang disukai serta tidak menolak kebenaran yang disampaikan kepada kita. Di dalam Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda yang artinya:

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)

Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa bentuk sombong terhadap kebenaran (al haq) yaitu dengan tidak menerimanya. Setiap orang yang menolak kebenaran maka dia telah sombong karena disebabkan oleh penolakannya tersebut.  Maka wajib bagi kita untuk mau menerima kebenaran, yaitu kebenaran yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Tentang kesombongan dalam menerima kebenaran telah dijelaskan di dalam Q.S Az-Zumar (39) ayat 59, dimana Allah SWT berfirman yang artinya:

”(Bukankah demikian) sebenarnya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan kamu adalah termasuk orang-orang yang kafir.”

Dengan mempelajari system thinking, seharusnya kita tidak menjadi bagian dari fenomena information avoidance. Karena tentu kita menyadari bahwa ketidakmampuan untuk mendapatkan gambaran masalah secara menyeluruh atau big picture, akan berimbas pada baik atau buruknya keputusan yang diambil. Maka tentu saja, untuk mendapatkan big picture dari suatu masalah, dibutuhkan upaya untuk mencari kejelasan atau yang disebut juga sebagai tabayyun. Istilah tabayyun berasal dari akar kata bahasa arab yaitu: tabayyanayatabayyanutabayyunan, yang berarti mencari kejelasan hakekat atau kebenaran suatu fakta maupun informasi dengan teliti, seksama dan hati-hati.

Di era informasi ini banyak frame maupun caption yang dibuat oleh khalayak untuk menampilkan bagian tertentu dari suatu berita, yang turut mengaburkan esensi dari informasi yang sesungguhnya. Hal tersebut membuat masyarakat hanya melihat suatu fenomena atau masalah hanya dari satu sisi saja, dengan tujuan penggiringan opini, menyenangkan pada penghindar informasi, menyebar fitnah, maupun untuk mencari popularitas. Maka inilah yang membuat informasi yang diberikan, terkadang bukan berdasarkan nilai “keshahihan” nya, namun dari banyaknya like dan seberapa panasnya informasi tersebut. Oleh karena itu disinilah peran kita sebagai intelektual muslim untuk ber-tabayyun sehingga dapat memahami fakta, informasi, maupun fenomena secara benar, menyeluruh, dan teliti. Tentang tabayyun, Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Hujurat (49) ayat 6 yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik membawa sesuatu berita, maka selidikilah (untuk menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini dengan sebab kejahilan kamu (mengenainya) sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu telah lakukan.”

Proses tabayyun dikatakan berhasil apabila mampu mengungkap fakta yang terjamin akurasinya, dan didasarkan atas analisis yang jernih tanpa adanya intervensi atribut-atribut subjektif. Dengan membiasakan sikap tabayyun inilah akan menghasilkan suatu pola pikir yang jernih yang membuat kita berhati-hati dan teliti dalam menerima kabar atau berita. Melalui kejernihan berpikir inilah kemudian akan terbangun sikap kearifan dan kesadaran bahwa dibutuhkan ilmu atau pengetahuan sebelum mengambil tindakan. Dalam Q.S. Al-Isra’ (17) ayat 36, Allah SWT berfirman tentang pentingnya memiliki pengetahuan atau ilmu sebagai landasan sebelum bertindak:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”

Ayat tersebut merupakan pengingat bagi kita, bahwa setiap tindakan yang akan kita lakukan haruslah dilandasi dengan pengetahuan, dan bukan sekedar asal ikut-ikutan yang dapat menjerumuskan kita kepada sikap taqlid buta. Di dalam Al-Qur’an, kita pun diperintahkan untuk bertanya kepada ahli ilmu (‘ulama) jika kita tidak memiliki pengetahuan tentang suatu hal. Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nahl (16) ayat 43 dan 44 yang artinya:

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,”

Kita bisa tarik kesimpulan bahwa untuk memahami suatu masalah atau sistem diperlukan usaha tabayyun yang diiringi dengan pengetahuan sebagai landasannya. Namun sebagai intelektual muslim, juga perlu kita sadari bahwa kebenaran maupun fakta ilmiah yang kita temukan melalui proses tabayyun, sifatnya tidak mutlak melainkan relatif, yang berarti tidak menutup kemungkinan adanya temuan orang lain yang lebih baik. Sesungguhnya kebenaran yang mutlak hanyalah milik Allah SWT. Maka, perlu kita sadari bahwa sebaik-baiknya cara berpikir manusia tetap ada batasnya, karena terkadang tidak semua masalah atau fenomena dapat dipahami dan diselesaikan dengan logika manusia. Sehingga, jalan keluarnya adalah mengembalikan semua urusan kepada Sang Pemilik alam semesta, Allah Subhaanahu Wa Ta’aala, yang berfirman dalam surat Al-Hajj (22) ayat 70 yang artinya:

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfudz). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.”

Oleh karena itu sebagai intelektual muslim, baik pemahaman, kemampuan berpikir, dan ilmu pengetahuan yang Allah SWT berikan kepada kita, hendaknya menjadikan kita semakin rendah hati, bertaqwa, berhati-hati dalam bertindak, dan men-taddaburi ayat-ayat qauliyah maupun kauniyah, serta membuat kita semakin bersemangat untuk mencari ilmu pengetahuan dan mengimplementasikannya untuk kesejahteraan manusia dan seluruh alam sebagai bentuk rahmatan lil ‘alamin.

 

Penulis
Andrie Pasca Hendradewa, S.T., M.T

Dosen Prodi Teknik Industri