Thrifting: Sustainable Business atau Trend Belaka?
Thrifting Culture, budaya lama yang menarik perhatian kawula muda.
Thrifting merupakan pop culture yang mendapat stigma buruk, kini popularitasnya kian meroket. Mengambil dari kata Thrive atau berkembang dan kata lain Thrifty atau penggunaan barang secara baik dan efisien.
Thrifting culture berkembang dari masa ke masa dengan sejarah yang beragam dari berbagai sumber. Menurut Thirft World (2020) produksi masal dan banyaknya pakaian lama yang terbuang menjadi penyebab terbentuknya ide thrifting. Pada 1897 Umat Kristiani Amerika mengumpulkan dan menjual kembali barang bekas untuk disumbangkan, kegiatan ini menjadi titik munculnya ide thifting.
Selama bertahun-tahun, thrift shop mulai bermunculan, mempekerjakan orang cacat dan bahkan menawarkan operasi layanan. “Pada saat yang sama, seiring pertumbuhan populasi perkotaan, ukuran tempat tinggal berkurang, begitu pula area di mana benda-benda yang tidak berguna dapat disimpan,” tulis Le Zotte. Peningkatan frekuensi perputaran barang rumah tangga terjadi dari industrialisasi. Kondisi ini disertai dengan lonjakan imigrasi, serta peningkatan permintaan produk bekas oleh orang Amerika.
Sejatinya, thrifting adalah kegiatan berburu barang-barang bekas yang digambarkan seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Tapi, jangan salah Sob! Demi mendapatkan barang limited yang terjangkau, banyak juga yang rela melakukan war di e-commerce ataupun antri di thrift shop.
Thrift shop adalah wadah penampung penjual barang bekas. Thrift shop membuka peluang bisnis baru di kalangan anak muda, dengan hanya mengeluarkan modal sedikit akan mendapatkan hasil yang berlimpah. Khususnya untuk merek dagang baju yang besar dan stok modelnya yang langka.
Di Indonesia thrift shop tersebar luas diberbagai daerah, mulai dari Bandung dengan pusat di Cimol (Cibadak Mall) dan Jakarta dengan Pasar Senen, Pasar Baru, Glondok Plaza, dan lain sebagainya yang menjadi rekomendasi tempat thrifting disana.
Dari segi bisnis, thrift shop menjadi ‘beken’ bermula dari wilayah pesisir laut (Sumatera, Batam, Kalimantan, dan Sulawesi) yang menjadi tempat masuknya barang impor (Voi, 2020). Beberapa tahun silam, alih-alih melabeli produk mereka sebagai ‘barang bekas’, penjual memasarkannya sebagai ‘barang impor’, hal ini dikarenakan stigma yang meluas dan masyarakat yang belum menyatu dengan budaya ini. Namun dewasa ini, masyarakat Indonesia mulai terbuka dan ikut memeriahkan thrifting culture.
Bisnis thrift shop menekan tingkat emisi industri fashion. Menutut United Nations Climate Change News (2019), perluasan sektor fashion sendiri menghasilkan 10% emisi gas rumah kaca karena rantai pasokan yang ekstensif dan penggunaan energi dalam produksi yang intensif. Menurut statistik dari 2018, sektor fashion menghasilkan 2,1 miliar ton CO2eq atau setara dengan 4% dari emisi karbon di seluruh dunia, dengan tiga negara industri terbesar, Prancis, Jerman, dan Inggris, menyumbang sebagian besar emisi.
Antara tahun 2000 dan 2014, sektor fashion tumbuh pada tingkat tercepat. Pabrikan memproduksi pakaian dua kali lebih banyak daripada 15 tahun yang lalu, sementara rata-rata pelanggan membeli 60% lebih banyak pakaian daripada 15 tahun yang lalu. Melansir dari dari UNEP (2021), sektor fashion menggunakan 93 miliar meter kubik air setiap tahun, dengan pewarnaan dan pemrosesan kain menyumbang sekitar 20% dari air limbah industri fashion secara global. Selain itu, industri fashion menyumbang 10% dari emisi karbon tahunan di seluruh dunia yang diperkirakan meningkat lebih dari 50% pada 2030.
Perkembangan zaman yang menyebabkan kerusakan merupakan hal yang salah terutama dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan kita untuk melestarikan lingkungan dan melarang kita merusaknya (fasad). Al-fasad diungkapkan sebanyak 52 kali dalam Al-Qur’anul al-Karim, dengan berbagai macam dan variasi. Salah satunya dalam QS. Ar Rum ayat 41:
Tangan manusia telah menyebabkan kerusakan di darat dan di laut; Allah menghendaki agar manusia menderita sebagian (akibat) perbuatannya agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Fiqhul Bi’ah atau gerakan peduli lingkungan dalam agama Islam. Pada kenyataannya, budaya ini juga merupakan sunnah dasar Nabi Muhammad SAW, yang mendesak umat Islam untuk memiliki cukup, memakai pakaian polos, dan hanya mengungkapkan tanda-tanda kemakmuran materi mereka. Karenanya, melestarikan budaya thrifting dapat berimbas baik bagi manusia dan lingkungannya.
Reference:
https://thriftworld.com/blog/article/get-to-know-thrift-world
https://www.unep.org/news-and-stories/story/putting-brakes-fast-fashion