Kita tentu masih ingat tentang kisah Qarun.  Qarun adalah sepupu Musa, anak dari Yashar adik kandung Imran, ayah Musa.  Kehidupan Qarun pada awalnya sangatlah miskin dan memiliki banyak anak.  Pada suatu kesempatan ia meminta tolong kepada Musa untuk mendoakannya kepada Allah agar memiliki harta benda.  Permintaan tersebut dikabulkan oleh Allah.  Tidak kurang dari ribuan gudang harta berlimpah penuh berisikan emas dan perak.  Akan tetapi, harta tersebut tidak menjadikannya dekat kepada Allah, malah sebaliknya menjadikan ia sebagai orang sombong dan suka pamer.  Pada suatu saat, ketika Qarun keluar membawa seluruh hartanya untuk dipamerkan kepada orang-orang, dan tidak dinyana dan tidak diduga bumi menelannya atas perintah Allah, sehingga Qarun binasa beserta seluruh hartanya dan istananya.  Begitulah Allah menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya.  Kisah Qarun ini diabadikan oleh Allah dalam QS Al-Qashash: 76-83.

Setiap manusia tidak akan pernah merasa cukup berapapun harta yang diberikan Allah kepadanya.  Padahal Allah telah memberikan untuk setiap makhluk hidup di dunia ini sesuai dengan kadarnya.  … dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya (QS. Ar-Rahman (55) : 33; QS. Ash Talaq : 3 ;QS. Fathir : 43 ;QS. Asy-Suraa : 17 ;QS. Al-Qamar : 49). Allah menciptakan segala sesuatu sesuai dengan kadarnya memberikan hikmah yang cukup besar bagi makhluk yang bisa berfikir.

Kreativitas manusia sebagai khalifah di muka bumi dengan keunggulan akliyahnya, memanfaatkan sumber daya yang ada di bumi.  Setiap sumber daya mempunyai karakteristik dengan ukuran tertentu menurut ukurannya masing-masing sesuai dengan sunnatullah dan tidak akan berubah untuk selamanya.  Menjadi kewajiban manusia untuk dapat memanfaatkan sumber daya yang ada di bumi demi kemaslahatan diri sendiri maupun masyarakat.  Manusia akan mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang diusahakannya.  Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi (QS Yunus ayat 101).  Ini berarti bahwa manusia diharuskan untuk selalu mengadakan penelitian mengkaji hal-hal yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia dengan menggunakan metode-metode tertentu yang berhubungan dengan karakteristik sumber daya yang ada.

Penelitian atau penyelidikan itu tentu membutuhkan metode atau alat untuk mampu menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.  Matematika dan statistika mampu menjawabnya.  Setiap permasalahan dapat dideskripsikan dan dianalisis, sehingga dapat dilakukan estimasi atau prediksi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di berbagai bidang yang melingkupi kehidupan manusia, meliputi bidang ekonomi, industri, bisnis, ataupun bahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam statistika terdapat hal penting yang dapat digunakan untuk menguji kebenaran atau pengetahuan akan suatu penelitian.  Itulah yang disebut hipotesis.  Jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya.  Manusia dalam setiap langkah hidupnya sebenarnya melakukan pula proses pembuatan hipotesis atau pendugaan.  Sering yang kita lakukan adalah melakukan praduga negatif terhadap apa yang terjadi pada diri kita tanpa melihat apa sesungguhnya hikmah yang direncanakan Allah.

Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya.  Saat kita melakukan praduga negatif maka terkadang hal tersebut menjadi kenyataan. Ada baiknya untuk kita melakukan introspeksi diri sampai sejauh mana kita dapat berupaya untuk selalu berfikir positif sehingga hipotesis nol atau hipotesis awalnya menjadi dapat diterima pada hasil akhirnya.

Silih berganti antara kesenangan dan ujian yang harus dihadapi oleh manusia tidak akan pernah usai hingga maut menjemput.  Hal itu menjadikan kita harus mampu untuk menjadi pribadi  yang selalu bersyukur dan bersabar dalam menghadapinya.  Sebagai muslim yang beriman kita wajib meyakini bahwa segala kejadian yang menimpa kita berasal dari kekuasaan Yang Maha Besar yakni Allah SWT.  Tidak ada yang luput dari pengawasannya.  Setiap langkah kaki kita bahkan deru nafas kita ataupun pikiran yang melintas di benak kita selalu ada dalam pengawasan-Nya.  Perkataan adalah do’a.  Allah akan mengabulkan do’a melalui mengabulkan secara langsung, mengundurkan waktunya, atau mengganti dengan yang lebih baik.  Sehingga kita harus selalu memperhatikan segala tindakan dan perkataan kita agar dapat bijak untuk dapat menanamkam di benak kita ungkapan “possitive thinking”.

Semua yang ada dalam kehidupan ini juga merupakan hipotesis.  Hipotesis yang diberikan sebagai dasar dalam kita mengarungi kehidupan ini adalah hipotesis yang harus kita cari kebenarannya dalam Al Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW.  Jika kita berpegang dengan dua hal tadi maka kita akan selamat di dunia dan di akherat.  Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16).  Semoga kita dapat meraih kehidupan dunia tanpa berlepas dari mempersiapkan kehidupan di akherat.

Jangan pernah kita berputus asa dari rahmat Allah.  Sekali lagi Allah yang telah menciptkan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran dengan serapi-rapinya (QS Al Furqon :2).  Beruntunglah orang yang telah memahami hakekat penciptaan dirinya karena dia akan memhami Penciptanya.  Setiap manusia diciptakan dengan sempurna dan diberikan kecukupan kenikmatan sesuai dengan kadar kemampuannya.  Sifat yang harus dimiliki oleh setiap muslim adalah sifat qana’ah atau merasa cukup.  Dengan sifat qana’ah tersebut menjadikan kita menjadi orang yang beruntung.  Ada kalanya kita terpeleset atau bahkan tergelincir, tetapi harus kita kembalikan lagi kepada jalan yang lurus, jalan kebenaran Islam.  Itulah rahasia Illahi dalam setiap detik yang harus kita jalani untuk menggapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan menjadikannya bekal dalam kehidupan yang kekal abadi di akherat kelak.  Wallahu ‘alam bishshawab.

 

Penulis:
vembri Noor Helia, ST., MT.

Dosen Prodi Teknik Industri

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, buah karya Al-Imam Al-Ghazali, dikisahkan terdapat seekor makhluk yang datang ke suatu desa yang berisi orang-orang buta. Masing-masing dari mereka memegang salah satu bagian dari makhluk tersebut dan mendeskripsikan kepada yang lain tentang seperti apa bentuk dan nama makhluk yang sedang mereka terka ini. Ada yang mengatakan bahwa makhluk tersebut adalah ular karena bentuknya yang panjang dan bisa meliuk-liuk sejenis ular piton. Ada juga yang mengatakan bahwa itu bukan makhluk hidup, tapi hanyalah sebuah karpet karena bentuknya yang lebar, tebal, dan bisa digulung. Namun ada juga yang cukup percaya diri dan mengatakan bahwa jawaban mereka semua adalah salah, dan menjawab bahwa itu adalah sebuah tiang bangunan karena ukurannya besar dan tinggi, seukuran dengan tiang bangunan pada umumnya. Tetapi realitanya mereka semua mengemukakan jawaban yang salah karena makhluk yang sebenarnya mereka raba adalah gajah. Persepsi bahwa makhluk tersebut adalah ular, muncul karena yang dipegang adalah bagian belalai. Persepsi karpet muncul karena yang dipegang adalah telinga, sedangkan persepsi tiang bangunan muncul karena yang dipegang adalah kaki gajah. Kesalahan persepsi timbul karena mereka hanya mengenali suatu objek hanya dari satu bagian saja, dengan kata lain tidak mempelajari suatu objek secara menyeluruh.

Berkaca pada cerita di atas, dalam kehidupan sehari-hari kita pun terbiasa untuk melihat suatu masalah berdasarkan bagian-bagian tertentu, dan bukan memahaminya sebagai suatu cakupan yang sifatnya menyeluruh atau yang dikenal sebagai sistem. Kita cenderung melihat suatu masalah, mencerna informasi, dan pada akhirnya merasa cocok dengan pendapat tertentu yang mirip dengan atribut maupun kepentingan yang kita miliki. Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan pada Journal of Economic Literature tahun 2017, fenomena ini disebut sebagai information avoidance, yaitu fenomena yang menggambarkan bagaimana orang-orang memilih realitas mereka sendiri, yaitu dengan sengaja menghindari informasi yang mengancam kebahagiaan dan kesejahteraan mereka. Sebagai contoh, beberapa orang akan memilih untuk tidak melihat kandungan kolesterol maupun kalori dalam makanan favoritnya dan tetap menyantapnya, atau contoh lain, beberapa orang hanya akan memilih sumber berita atau judul artikel tertentu yang mereka pikir sesuai dengan ideologi politiknya.

Kecenderungan untuk menghindari informasi tentu berbahaya, karena membuat kita tidak mampu lagi melihat suatu masalah secara sistem atau menyeluruh, namun hanya melihat dari bagian-bagian tertentu yang hanya kita sukai, dianggap menarik dan cocok dengan atribut-atribut subjektif. Sedangkan di dalam Q.S Al-Baqarah (2) ayat 216, Allah SWT berfirman yang artinya:

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Ayat tersebut merupakan peringatan kepada kita, untuk berhati-hati dalam menyukai atau membenci suatu hal. Selain itu, dalam ayat tersebut kita juga diingatkan bahwa kita manusia sebenarnya memiliki pengetahuan yang tidak seberapa karena ada hal-hal yang kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Oleh karena itu disinilah pentingnya kita untuk terus belajar, mencari informasi dengan pikiran yang terbuka sehingga kita mampu menerima kebenaran tanpa harus memilih-milih yang disukai serta tidak menolak kebenaran yang disampaikan kepada kita. Di dalam Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda yang artinya:

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)

Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa bentuk sombong terhadap kebenaran (al haq) yaitu dengan tidak menerimanya. Setiap orang yang menolak kebenaran maka dia telah sombong karena disebabkan oleh penolakannya tersebut.  Maka wajib bagi kita untuk mau menerima kebenaran, yaitu kebenaran yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Tentang kesombongan dalam menerima kebenaran telah dijelaskan di dalam Q.S Az-Zumar (39) ayat 59, dimana Allah SWT berfirman yang artinya:

”(Bukankah demikian) sebenarnya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan kamu adalah termasuk orang-orang yang kafir.”

Dengan mempelajari system thinking, seharusnya kita tidak menjadi bagian dari fenomena information avoidance. Karena tentu kita menyadari bahwa ketidakmampuan untuk mendapatkan gambaran masalah secara menyeluruh atau big picture, akan berimbas pada baik atau buruknya keputusan yang diambil. Maka tentu saja, untuk mendapatkan big picture dari suatu masalah, dibutuhkan upaya untuk mencari kejelasan atau yang disebut juga sebagai tabayyun. Istilah tabayyun berasal dari akar kata bahasa arab yaitu: tabayyanayatabayyanutabayyunan, yang berarti mencari kejelasan hakekat atau kebenaran suatu fakta maupun informasi dengan teliti, seksama dan hati-hati.

Di era informasi ini banyak frame maupun caption yang dibuat oleh khalayak untuk menampilkan bagian tertentu dari suatu berita, yang turut mengaburkan esensi dari informasi yang sesungguhnya. Hal tersebut membuat masyarakat hanya melihat suatu fenomena atau masalah hanya dari satu sisi saja, dengan tujuan penggiringan opini, menyenangkan pada penghindar informasi, menyebar fitnah, maupun untuk mencari popularitas. Maka inilah yang membuat informasi yang diberikan, terkadang bukan berdasarkan nilai “keshahihan” nya, namun dari banyaknya like dan seberapa panasnya informasi tersebut. Oleh karena itu disinilah peran kita sebagai intelektual muslim untuk ber-tabayyun sehingga dapat memahami fakta, informasi, maupun fenomena secara benar, menyeluruh, dan teliti. Tentang tabayyun, Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Hujurat (49) ayat 6 yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik membawa sesuatu berita, maka selidikilah (untuk menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini dengan sebab kejahilan kamu (mengenainya) sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu telah lakukan.”

Proses tabayyun dikatakan berhasil apabila mampu mengungkap fakta yang terjamin akurasinya, dan didasarkan atas analisis yang jernih tanpa adanya intervensi atribut-atribut subjektif. Dengan membiasakan sikap tabayyun inilah akan menghasilkan suatu pola pikir yang jernih yang membuat kita berhati-hati dan teliti dalam menerima kabar atau berita. Melalui kejernihan berpikir inilah kemudian akan terbangun sikap kearifan dan kesadaran bahwa dibutuhkan ilmu atau pengetahuan sebelum mengambil tindakan. Dalam Q.S. Al-Isra’ (17) ayat 36, Allah SWT berfirman tentang pentingnya memiliki pengetahuan atau ilmu sebagai landasan sebelum bertindak:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”

Ayat tersebut merupakan pengingat bagi kita, bahwa setiap tindakan yang akan kita lakukan haruslah dilandasi dengan pengetahuan, dan bukan sekedar asal ikut-ikutan yang dapat menjerumuskan kita kepada sikap taqlid buta. Di dalam Al-Qur’an, kita pun diperintahkan untuk bertanya kepada ahli ilmu (‘ulama) jika kita tidak memiliki pengetahuan tentang suatu hal. Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nahl (16) ayat 43 dan 44 yang artinya:

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,”

Kita bisa tarik kesimpulan bahwa untuk memahami suatu masalah atau sistem diperlukan usaha tabayyun yang diiringi dengan pengetahuan sebagai landasannya. Namun sebagai intelektual muslim, juga perlu kita sadari bahwa kebenaran maupun fakta ilmiah yang kita temukan melalui proses tabayyun, sifatnya tidak mutlak melainkan relatif, yang berarti tidak menutup kemungkinan adanya temuan orang lain yang lebih baik. Sesungguhnya kebenaran yang mutlak hanyalah milik Allah SWT. Maka, perlu kita sadari bahwa sebaik-baiknya cara berpikir manusia tetap ada batasnya, karena terkadang tidak semua masalah atau fenomena dapat dipahami dan diselesaikan dengan logika manusia. Sehingga, jalan keluarnya adalah mengembalikan semua urusan kepada Sang Pemilik alam semesta, Allah Subhaanahu Wa Ta’aala, yang berfirman dalam surat Al-Hajj (22) ayat 70 yang artinya:

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfudz). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.”

Oleh karena itu sebagai intelektual muslim, baik pemahaman, kemampuan berpikir, dan ilmu pengetahuan yang Allah SWT berikan kepada kita, hendaknya menjadikan kita semakin rendah hati, bertaqwa, berhati-hati dalam bertindak, dan men-taddaburi ayat-ayat qauliyah maupun kauniyah, serta membuat kita semakin bersemangat untuk mencari ilmu pengetahuan dan mengimplementasikannya untuk kesejahteraan manusia dan seluruh alam sebagai bentuk rahmatan lil ‘alamin.

 

Penulis
Andrie Pasca Hendradewa, S.T., M.T

Dosen Prodi Teknik Industri

Mengajar adalah salah satu tugas pokok dosen di samping penelitian, pengabdian masyarakat, dan dakwah Islamiyah. Sebagai dosen yang beragama Islam, mengajar bagi kita bukan hanya menjadi mata pencaharian tapi juga merupakan suatu ibadah. Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana caranya agar mengajar tidak hanya sekedar menjadi “ladang uang”, namun juga bisa menjadi “ladang amal” untuk kita?

Keutamaan mengajar
Beruntunglah orang-orang yang berilmu. Allah SWT meninggikan derajatnya di atas manusia rata-rata. Sebuah nikmat yang tidak bisa dimiliki oleh semua orang. Oleh sebab itu, wajar jika orang yang berilmu dituntut tanggung jawab lebih karena ilmu yang dimiliki. Di satu pihak ilmu adalah nikmat untuknya, di pihak lain ilmu adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.

“…. niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat….” (Q.S. Al-Mujadilah : 11).

Menyampaikan ilmu dan menyebarluaskannya kepada orang lain hukumnya wajib. Allah SWT berfirman:

“…. Dan Kami turunkan kepadamu az-Zikr (al-Quran) agar kamu terangkan kepada para manusia apa yang akan diturunkan kepada mereka, dan agar mereka berpikir.” (Q.S. An-Nahl : 44)

Ada banyak keutamaan orang yang berilmu dan mengajarkan ilmu yang disebutkan dalam Al Quran dan Al Hadits. Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Keutamaan seorang yang berilmu atau ahli ibadah adalah sebagaimana keutamaanku atas orang yang terendah dari kalian.”

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang soleh.” (HR. Muslim)

“Jadilah engkau orang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mau mendengarkan ilmu, atau orang yang menyukai ilmu. Dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima, maka engkau akan celaka.” (HR. Baihaqi)

Re-orientasi niat mengajar
Mencermati nash-nash tentang keutamaan mengajarkan ilmu, sebagai dosen harusnya kita menumbuhkan kesadaran dalam memperbanyak bekal amal shaleh. Re-orientasi niat mengajar adalah salah satu cara untuk itu. Jika selama ini mengajar kita lakukan untuk menggugurkan kewajiban, maka niat itu sekarang harus kita perbaiki, mengajar adalah proses mengolah “ladang amal”. Karena kebahagiaan hanya dapat diraih dengan amal kebaikan dan menyebarkan manfaat kepada orang lain.
Sebagaimana kita pahami, ilmu adalah investasi yang abadi. Rasulullah SAW telah menggambarkan, ilmu tidak pernah berkurang saat dibagi, bahkan bisa melimpah dengan berkahnya. Ilmu tidak akan habis atau hilang walau dibagi semuanya kepada orang lain. Pahala ilmu tidak akan terhenti meski pemiliknya meninggal dunia.

Adab dalam mengajar
Calon mahasiswa di awal perkuliahan biasanya mendapatkan materi adab dalam belajar, idealnya calon dosen atau dosen pemula juga mendapatkan materi adab dalam mengajar. Sayangnya, dalam kegiatan pra-jabatan dosen lebih menekankan pada materi metode mengajar daripada adab mengajar. Metode dengan adab mengajar dua hal yang berbeda. Adab mengajar untuk menghadirkan jiwa dosen dalam sebuah kelas, sedangkan metode adalah cara mengajar.
Mengadopsi adab mengajar K.H. Hasyim Asyari yang ditulis oleh Ilham Kadir, berikut ini beberapa adab yang perlu kita perhatikan dalam rangka menjadikan kegiatan mengajar sebagai proses mengolah “ladang amal”:
1. Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan
2. Menghindarkan ketidakikhlasan dan mengejar keduniawian
3. Hendaknya selalu melakukan muhasabah (instropeksi diri)
4. Menggunakan metode yang mudah dipahami
5. Membangkitkan antusias mahasiswa dan memotivasinya
6. Memberikan latihan-latihan yang sifatnya membantu
7. Selalu memperhatikan kemampuan mahasiswa
8. Tidak terlalu mengorbitkan salah seorang mahasiswa dan menafikan yang lainnya
9. Mengarahkan minat mahasiswa
10. Bersikap terbuka dan lapang dada terhadap mahasiswa
11. Membantu memecahkan masalah dan kesulitan mahasiswa
12. Bila ada mahasiswa yang berhalangan hendaknya mencari hal ikhwal kepada teman-temannya
13. Tunjukkan sikap arif dan penyayang kepada mahasiswa
14. Selalu rendah hati, tawadhu

Mengajar dengan jiwa
Ada mahfudzat yang berbunyi: Ath-thariqah ahammu minal madah (metode lebih penting dari materi ajar/kurikulum), al-mudarris ahammu min ath-thariqah (pengajar lebih penting dari metode), wa ruhul mudarris ahammdu min mudarris (jiwa pengajar lebih bermakna dari pengajar). Ini sesuai dengan pendapat Sir Pency Nunn, guru besar pendidikan di University of London yang mengatakan bahwa baik buruknya suatu pendidikan tergantung kebaikan, kebijakan, dan kecerdasan pengajar.
Menurut Adian Husaini, jiwa pengajar adalah kunci kemajuan pendidikan sekaligus kemajuan bangsa. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang bersih dari penyakit syirik, dengki, riya’, nifak, sombong, cinta dunia, gila jabatan, penakut, lemah semangat, dan sebagainya.

Meningkatkan pengetahuan
Setiap muslim mempunyai dua kewajiban yang berkaitan dengan ilmu, yaitu belajar dan mengajar. Mengajarkan ilmu itu wajib, demikian juga mencari ilmu juga wajib. Hal ini tentu saja berlaku bagi kita sebagai dosen. Memperbanyak modal ilmu adalah kewajiban kita. Seluas ilmu yang kita miliki sebentang itu pula manfaat ilmu yang dapat kita tebar.
Ada sebuah ungkapan yang berbunyi, faqidu asy-syai la yu’thi (orang yang tidak memiliki sesuatu tidak mungkin bisa memberikan sesuatu). Oleh karena itu, meningkatkan pengetahuan harus selalu kita lakukan agar kita bisa memberi lebih banyak manfaat.

Kembangkan kemampuan menulis dan publikasi
Para salafus shaleh dan ulama-ulama kita adalah generasi yang sangat produktif dalam membuat tulisan. Ribuan kitab yang menjadi rujukan umat Islam dalam hal tafsir, fiqih, aqidah, ahlak, serta ilmu pengetahuan alam, merupakan buah karya dari tradisi ilmu yang dimiliki oleh ulama-ulama kita di masa lalu dan hingga kini menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan modern. Dengan teladan ini seharusnya kita sebagai dosen lebih produktif dalam melahirkan tulisan-tulisan yang bermanfaat.
Fathul Wahid mengatakan, slogan “publish or perish” (publikasi atau mati mendadak) sangat terkenal di kalangan akademisi Amerika. Menurutnya, publikasi memegang peranan sangat penting dalam tradisi keilmuan. Dengan publikasi itu, hasil-hasil penelitian dapat disampaikan kepada audien yang lebih luas, dan akan membuka pintu kemanfaatan yang lebih lebar.

Mahasiswa sebagai partnership
Dalam usaha memperbanyak modal ilmu, sebaiknya mahasiswa kita libatkan. Mahasiswa hendaknya tidak lagi menjadi obyek namun dijadikan subyek dalam kegiatan perkuliahan, sehingga proses transfer ilmu pengetahuan bisa terjadi dalam dua arah. Dengan kata lain, mahasiswa adalah partnership kita dalam meningkatkan pengetahuan. Caranya adalah dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menyampaikan topik yang telah mereka pelajari terlebih dahulu sebelum kita memberikan materi kuliah. Berdasarkan pengalaman, ada banyak pengetahuan baru yang bisa diperoleh dari apa yang disampaikan mahasiswa, yang tidak penulis dapatkan sebelumnya. Memberikan pujian dan nilai yang baik kepada mereka adalah bentuk-bentuk penghargaan yang bisa kita berikan. Biasanya mahasiswa akan lebih antusias dan termotivasi untuk belajar. Tentu saja belajar mandiri tetap harus selalu dilakukan oleh setiap dosen.
Sekali lagi kita ingat, setiap kita wajib menjadi pengajar atau pembelajar atau keduanya. Allah berfirman dalam Al Quran Surah Ali Imran ayat 79:

“…. Hendaknya kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”

Wallahu a’lam bishawab

 

Penulis:

Qurtubi, ST., MT.
Dosen Teknik Industri

Ujian atau masalah merupakan sesuatu yang kita hadapi setiap hari. Allah SWT menghendaki keadaan manusia berbeda-beda sebagai sebuah ujian. Ujian kesulitan, ujian kehilangan, kekurangan, musibah, penyakit, kemiskinan adalah masalah biasa yang dihadapi oleh manusia selama hidup di dunia ini. Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang meminta kepada Allah untuk hidup susah, namun berhatikanlah firman Allah berikut ini,

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ’Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” [QS. Al-Ankabut : 2-3]

Melalui ayat ini, Allah menjelaskan bahwa setiap orang yang beriman pasti akan diberi ujian ataupun masalah, dan ketika dihadapkan pada sebuah masalah, manusia akan dihadapkan pada proses pengambilan keputusan terkait dengan pemecahan masalah tersebut. Sikap seseorang dalam menghadapi sebuah permasalahan tentu saja berbeda-beda, proses seseorang dalam pengambilan keputusan pun juga bermacam-macam.

Pengambilan keputusan dapat diartikan sebagai suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari banyak alternatif dengan cara yang dianggap paling efisien sesuai dengan situasi. Ada banyak pendekatan yang dapat dilakukan untuk menilai mana alternatif terbaik. Beberapa orang menggunakan pendekatan qualitatif dalam proses pengambilan keputusan. Pendekatan ini bisanya dilakukan dengan focus group discussion, expert judgement, berdasarkan pengalaman pribadi, atau bahkan hanya dengan berdasarkan insting pribadi. Jika masalah yang dihadapi tidak terlalu rumit, atau orang yang berada dalam proses pengambilan keputusan tersebut dirasa sudah cukup ilmu dalam melakukan pertimbangan pemecahan masalah, maka pendekatan ini bisa dilakukan karena dirasa lebih cepat dan mudah. Akan tetapi jika masalah yang dihadapi lebih kompleks, dan orang-orang yang berada pada proses pengambilan keputusan masih memerlukan banyak informasi, maka pendekatan quantitatif dapat dilakukan. Pendekatan quantitatf ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang mendukung proses pengambilan keputusan dan data-data tersebut kemudian dianalisa dengan cara yang sistematis dengan menggunakan sebuah metode pengambilan keputusan. Menurut teori popular analisa keputusan, ada banyak metode yang dapat digunakan antara lain SAW, TOPSIS, AHP, dan ANP. Metode-metode tersebut biasanya dikaitkan dengan teknik Multiple Criteria Decision Making (MCDM) atau pengambilan keputusan dengan melibatkan banyak kriteria. Kriteria merupakan parameter yang digunakan sebagai landasan dalam membandingkan alternatif dalam pengambilan keputusan. Sebagai contoh, masalah yang kita hadapi adalah memilih jodoh. Misalnya kita sudah memiliki alternatif A, B, dan C yang bisa kita pilih sebagai orang yang akan dinikahi. Dalam proses pengambilan keputusan ini, kita membandingkan ketiganya berdasarkan kriteria agama, pendidikan, perkerjaan, dan fisik. Jika menggunakan pendekatan qualitatif, kita dapat bertanya dengan orang yang dirasa lebih berpengalaman (expert judgement), atau kita bisa mengambil keputusan berdasarkan pengalaman atau insting tanpa melakukan perhitungan apapun. Namun jika menggunakan pendekatan quantitatif misalnya dengan AHP, maka kita harus melakukan analisa yang cukup panjang. Pertama harus membuat kuesioner terkait dengan penilaian terhadap kriteria dan alternatif menggunakan perbandingan berpasangan (pairwise comparison), kemudian meminta beberapa orang yang mengenal ketiga orang tersebut untuk melakukan penilaian, kemudian melakukan perhitungan berdasarkan hasil kuesioner hingga didapatkan rangking dari tiga alternatif tersebut. Sehingga dengan hasil tersebut membantu kita dalam menentukan mana kira-kira jodoh terbaik.

Cara pengambilan keputusan yang telah dibahas sebelumnya, merupakan pendekatan yang biasa dilakukan dalam perpektif ilmiah. Kemudian bagaimana proses pengambilan keputusan dalam perspektif Islam? Pendekatan qualitatif maupun quantitatif semuanya dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang melibatkan penilaian manusia (human judgement). Kita sebagai umat Islam, berdasarkan QS. Al-Ankabut: 2-3 yang telah disebutkan diatas, meyakini bahwa setiap masalah yang ada adalah datang dari Allah, dalam mencari solusi pemecahannya pun seharusnya kita juga melibatkan Allah. Tidak ada salahnya menggunakan human judgment dalam pengambilan keputusan, tapi kita tetap harus yakin bahwa Allah-lah sebaik-baiknya pemberi keputusan.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” [QS. Al-Baqarah : 216]

Jelas disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 216 tersebut, bahwa Allah-lah sebaik-baiknya tempat kembali ketika kita dihadapkan pada sebuah masalah dan pada sebuah proses pengambilan keputusan. Tidak jarang dari kita kemudian melakukan sholat Istikharah untuk melibatkan Allah dalam setiap pencarian solusi setiap masalah kita. Nabi Muhammad SAW, bersabda

” Jika Salah seorang  diantara kalian berniat dalam suatu urusan maka lakukanlah Shalat Sunah dua Raka’at yang bukan Shalat Wajib, kemudian bedoalah meminta kepada Alloh” [HR. AL – Bukhari]

Dengan melakukan sholat istikharah, diharapkan dapat menghindarkan kita dari sifat subjekti dan mementingkan hawa nafsu. Dengan shalat istikharah juga dapat menghilangkan keragu-raguan dan memunculkan kemantapan hati dalam memilih alternatif terbaik.

Jika dalam perspektif ilmiah dikenal istilah focus group discussion sebagai salah satu cara dalam mengambil keputusan terhadap suatu masalah, istilah ini dalam Islam disebut sebagai musyawarah. Di dalam musyawah pun tetap harus melibatkan Allah. Keputusan yang diambil tentu merupakan keputusan bersama bukan karena kepentingan sepihak dan tentu saja berlandaskan pada nilai-nilai kebenaran yang tercantum baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul. Islam mengatur bahwa dalam musyawah perlu memegang prinsip adil, amanah, istiqamah, dan jujur. Adil berarti tidak berat sebelah atau tidak hanya memperhatikan kepentingan suatu pihak, amanah berarti ketika keputusan telah diambil maka kita memiliki tanggung jawab dalam pelaksanaan keputusan tersebut dikemudian hari, istiqamah berarti memiliki keteguhan hati untuk dapat melaksanakan keputusan tersebut sesuai dengan syariat Islam, sedangkan prinsip yang terakhir berarti kita harus selalu bersikap jujur termasuk dalam proses pengambilan keputusan maupun melaksanakan hasil keputusan. Dalam QS. Ali Imran: I59 Allah berfirman,

“Maka disebabkan rahmat dari Allah swt-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, dan apabila kamu telah membulatkan tekad maka berdakwahlah kepada Allah swt, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” [QS. Ali Imran: I59]

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa dalam pengambilan keputusan tentu akan terjadi banyak perbedaan pendapat, dan kita diperintahkan untuk tetap berlaku lemah lembut terhadap pihak yang berselisih pendapat dengan kita. Dalam bermusyawarah pun kita diperintahkan untuk bertekad bulat untuk melaksanakannya sesuai dengan syariat sebagai bentuk taqwa kepada Allah, dan ketika telah dicapai kesepakan makan kita harus harus bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut.

Dari penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik sebagai solusi dari setiap permasalahan yang kita hadapi. Kita dapat melakukan pengambilan keputusan dengan pendekatan apapun. Tidak salah jika kita menggunakan human judgement dalam proses pemilihan keputusan karena terdapat ilmu yang mengatur hal tersebut, namun yang terpenting adalah bahwa kita harus selalu melibatkan Allah dalam setiap usaha pencarian solusi kita. Sebagai seorang muslim kita meyakini bahwa setiap masalah datang dari Allah, dan harusnya kepada-Nya lah kita mengembalikan segala keputusan. Sebaik-baiknya metode yang kita gunakan, sebaik-baiknya analisa data yang kita lakukan, sudah pasti bahwa Allah lah yang lebih mengetahui mana yang terbaik untuk kita.

 

Penulis

Annisa Uswatun Khasanah, ST., M.Sc.

Dosen Teknik Industri UII

“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Imam As Sa’dy mengatakan di dalam tafsirnya, “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik yaitu dari sisi di mana beliau menghadiri sendiri suara hiruk pikuk dan langsung terjun ke medan laga. Beliau adalah orang yang mulia dan pahlawan yang gagah berani. Lalu bagaimana kalian menjauhkan diri kalian dari perkara yang Rasulullah bersungguh-sungguh melaluinya seorang diri? Maka jadikanlah dia sebagai panutan kalian dalam perkara ini dan sebagainya.”

Perbincangan tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kurikulum dan pengajar. Ada semacam idiom dalam kajian ilmu kurikulum yaitu, “Kalau ingin tahu bagaimana arah sebuah institusi pendidikan untuk beberapa tahun ke depan, lihat saja kurikulum pendidikan yang berlaku di institusi pendidikan tersebut”. Kalimat ini memberikan makna bahwa bentuk kurikulum pendidikan yang berlaku di sebuah Institusi pendidikan akan menentukan bentuk seperti apa yang diinginkan oleh institusi pendidikan tersebut dalam membentuk outcome-nya. Inilah pula yang menyebabkan kurikulum pendidikan sebuah institusi pendidikan belum tentu cocok di institusi pendidikan lain atau sebaliknya. Ketidakcocokan tersebut disebabkan oleh perbedaan ideologi dan falsafah hidup institusi pendidikan masing-masing.

Secara konseptual, kita telah menyadari perlunya penanaman nilai-nilai karakter kepada generasi muda. Keberhasilan penumbuhkembangan nilai-nilai karaker tersebut memerlukan keteladan dari semua pihak, bukan semata-mata mengadalkan penerapan kurikulum. Keteladan tersebut harus ditunjukkan oleh semua orang yang merasa bertanggung jawab akan kelangsung kehidupan untuk masa mendatang. Ketelandan tersebut juga harus dicontohkan sebab keteladanan bukan hanya pengetahuan tetapi sikap mental yang merasuk kedalam jiwa. Pemerintah, masyarakat, keluarga, warga sekolah, dan individu pelajar itu sendiri harus menjadi contoh untuk melakukan keteladan dalam setiap aspek kehidupan dan perbuatan sehari-hari.

Sekedar memberikan contoh bentuk keteladan Rasullulah. Terdapatlah seorang pengemis Yahudi buta yang setiap hari menempati salah satu sudut pasar di Kota Madinah. Bukan cuma mengemis, Ia juga berseru kepada orang-orang yang berlalu-lalang di pasar tersebut, “Jangan dekati Muhammad! Jauhi dia! Jauhi dia! Dia orang gila. Dia itu penyihir. Jika kalian mendekatinya maka kalian akan terpengaruh olehnya.” Hampir setiap hari,  pengemis tersebut di temani oleh seseorang di sampingnya. Orang tersebut dengan lemah lembut dan kasih sayang menyuapi. Orang tersebut hanya terdiam saat teriakan makian dan hinaan itu keluar dari mulut Yahudi buta tersebut. Ia terus menyuapi makanan ke mulut pengemis itu hingga habis.

Sampai pada suatu hari, si Pengemis Yahudi Buta tidak lagi ditemani lagi oleh orang yang menyuapinya. Kemudian datanglah orang lain yang membawakan nasi bungkus untuknya dan menawarkan diri untuk menyuapinya. Orang tersebut adalah Abu Bakar Ash Shiddiq. Mendengar setiap cacian, ia berusaha menahan diri dan berusaha dengan lemah lembut menawarkan diri untuk memberi makan. Namun bukan rasa terima kasih yang di dapat, justru penyangkalan dan hardikan keras yang didapat. “Kau bukan orang yang biasa memberiku makanan,” hardik si pengemis buta. “Aku orang yang biasa,” kata Abu Bakar.  “Tidak. Kau bukan orang yang biasa ke sini untuk memberiku makanan. Apabila dia yang datang, maka tak susah tangan ini memegang dan tak susah mulutku mengunyah. Dia selalu menghaluskan terlebih dahulu makanan yang akan disuapinya ke mulutku.” Begitulah penyangkalan si pengemis buta kepada Abu Bakar.

Mendengar perkataan pengemis buta tersebut, Abu Bakar tak kuasa membendung rasa harunya dan berkata, “Memang, benar, Aku bukan orang yang biasa datang membawa makanan dan memberimu suapan atas makanan itu. Aku memang tidak bisa selemah lembut orang itu.” “Ketahuilah bahwa Aku adalah salah satu sahabat orang yang setiap hari menyuapimu tersebut. Orang yang dulu biasa ke sini dan memberimu makan dan menyuapimu telah wafat. Aku hanya ingin melanjutkan amalan yang ditinggalkan orang tersebut, karena Aku tidak ingin melewatkan satu pun amalannya setelah kepergiannya.”

Si pengemis buta Yahudi tersebut terdiam sejenak dan bertanya kepada Abu Bakar siapa orang yang selama ini  memberinya makan dan juga menyuapinya. “Ketahuilah, bahwa Ia adalah Muhammad, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Orang yang setiap hari kau hinakan dan kau rendahkan di depan orang banyak di pasar ini,” jawab Abu Bakar. Si pengemis Yahudi yang buta itu tertegun. Tak ada kata kata yang keluar dari mulutnya, namun tampak bibirnya bergetar. Air mata pengemis buta itu perlahan jatuh membasahi pipinya yang mulai berkeriput. Si pengemis buta tersadar, betapa orang yang selama ini ia hinakan justru memperlakukannya dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Ia justru malah merasa lebih hina dari apapun yang ada di dunia ini. “Selama ini aku telah menghinanya, memfitnahnya, bahkan saat Muhammad sedang menyuapi aku. Tapi dia tidak pernah memarahiku. Dia malah dengan sabar melembutkan makanan yang di masukkan ke dalam mulutku. Dia begitu mulia.” Kata pengemis buta dalam tangisnya. Pada saat itu juga, Si Pengemis Yahudi buta bersaksi di hadapan Abu Bakar Ash Shiddiq, mengucapkan dua kalimat syahadat ‘La ilaha illallah. Muhammadar Rasulullah.’ Si Pengemis buta memilih memeluk Islam setelah cacian dan sumpah serapahnya kepada Muhammad SAW dibalas dengan kasih sayang oleh nabi akhir zaman tersebut.

Melalui kisah keteladanan tersebut, kita dapat mengambil hikmah dan menerapkannya dalam mengaplikasikan kurikulum pada proses belajar mengajar. Beberapa hikmah diantaranya adalah menumbuhkan kasih sayang terhadap peserta didik serta menyertakan dalam proses penyampaian knowledge, menyampaiakan materi pembelajaran  dengan sepenuh hati melalui berbagai mekanisme penyampaian materi, kesabaran dalam mendengarkan setiap keluhan, terus bekerja secara istiqomah, dan tidak menampakan ego keakuan.

Tugas sebagai pendidik akan menjadi ladang amal dan dituntut untuk memberikan pengajaran yang terintegral dan holistik. Menjadi pendidik tidak hanya mengajar peserta didik menjadi cerdas dan tahu ilmu pengetahuan, tapi mendidik dengan dedikasi tinggi (ikhlas) serta penuh keteladanan. Peserta didik akan menjadikan tenaga pendidik sebagai suri tauladan dalam menyerap ilmu pengetahuan dan mengaplikasikannya di masyarakat. Wallahu’alam.

 

Penulis:

Yuli Agusti Rochman, ST., M.Eng

KaProdi Teknik Industri UII

Dalam pewayangan  Gatotkaca dikenal tokoh ksatria yang mempunyai tulang dari besi sehingga  kekuatannya sangat baik. Zaman modern ini manusia mengenal baju besi anti peluru untuk pelindung dan keamanan.  Didalam Al Quran Surat Al Hadid  ayat 25 Allah berfirman yang artinya: Sungguh Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka  kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat  berlaku adil. Dan Kami menciptakan besi  yang mempunyai kekuatan  hebat dan banyak manfaat bagi manusia , dan agar Allah mengetahui siapa  yang menolong (agama)NYa  dan Rasul-RasulNYa  walaupun (Allah) tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat , Maha Perkasa .  Ayat tersebut tegas menyatakan besi mempunyai kekuatan hebat dan banyak manfaat. Dengan besi manusia mampu membuat produk seperti mesin , senjata,pabrik , pesawat, kapal,jembatan, gedung berrtingkat, bahkan produk sederhana, pisau, sabit cangkul , pedang. Orang jawa membuat keris juga dari besi yang dikenal dengan Tosan aji.

Besi sebagai salah satu jenis logam yang berkekuatan tinggi untuk membuat konstuksi karena kemampuannya menerima beban mekanik, sedang jenis logam lain mempunyai keunggulan pada sifat bukan mekanik, misal sifat phisik, elektrik, kimia dan lain sebgainya. Tembaga unggul pada kemamouan menghantarkan panas dan listirk . Pada ayat tersebut Allah menyatakan besi mempunyai kekuatan/strength/ba’san sebagai cara Allah menjelaskan kehebatan ciptaanNya.  Namun manusia mampu menjelaskan kehebatan besi melalui  parameter-parameter yang dihasilkan  dari pengujian  (destructive testing). Berbagai jenis beban yang mengenai besi akan menghasilkan parameter tertentu, dan hasilnya memang baik untuk jenis besi. Kehebatan besi  terletak pada sifat deformasi  elastis,sifat  deformasi plastis, ulet/ductile, kekerasan, ketahanan lelah/fatique, ketangguhan/toughnesss. Kehebatan besi murni terletak pada sifat ulet yang sangat bagus, titik lebur yang tinggi, tetapi kekuatannya rendah. Kekuatan merupakan batas beban yang mampu diderita tanpa terjadi  keluluhan (rupture). Dalam proses fabrikasi besi diperoleh mengandung unsur carbon, dan dengan adanya carbon besi menjadi lebih kuat dan keras. Proses untuk mempebaiki sifat besi/baja bisa dilakukan dengan memadukan unsur lain kedalamnya dan juga bisa melalui perlakuan panas /heat treatment. Salah satu proses heat treatment adalah penyepuhan. Sedang unsur  paduan yang bisa ditambahkan , nikel , krom,vanadium,Mangan, Silikon ,molybdenum dan sebagainya. Dengan proses sepuh baja bisa menjadi lebih keras. Pengerasan juga bisa dilakukan hanya pada kulitnya /permukaan luarnya saja melalui surface hardening, khususnya untuk dua komponen yang dalam kerjanya bersinggungan misal antar jurnal poros dengan bantalannya.

Pada artikel ini yang berjudul manusia besi dengan tujuan manusia bisa meniru sifat besi yang hebat sehingga juga menjadi manusia yang hebat.  Boleh juga manusia meniru kehidupan semut dalam hal kegotong royongannya. Boleh jadi manusia bisa meniru semut yang wujudnya kecil tapi bisa mengalahkan yang besar. Tapi jangan sampai manusia meniru sapi karena sapi dalam kehidupannya hanya  menjalani tiga hal yaitu diperbudak, diperah susunya dan disembelih.  Manusia besi mempunyai kekuatan, keuletan, bisa berdeformasi/berubah bentuk kepada yang lebih baik dan bermanfaat, mempunyai ketahanan prima terhadap persoalan yang menderanya, mempunyai kekakuan/ketegaran dalam menghadapti cobaan/fitnah, bahkan dalam menghadapi rayuan. Manusia besi mempunyai ketahanan melar/creep terhadap beban yang dideritanya ber tahun-tahun.penderitaan yang datang bertubi-tubi silih berganti. Manusia besi mempunyai kekakuan yang baik sehingga mampu menghantarkan anak pada kesuksesan. Seorang  dosen  harus  mempunyai ketegaran dalam menghantarkan mahasiswa dalam meraih cita-cita, karena jembatan besi harus tegar dan kaku.  Jembatan berfungsi  untuk melintaskan    pejalan dan pengendara seorang mahasiswa yang  ingin menuju cita-cita. Kekakuan/ketegaran akan mampu melindungi dan menanggulangi pihak-pihak yang akan menarik pada perbuatan culas, curang, korup. Manusia besi yang kaku tidak akan melentur terhadap sogokan, rayuan dan ajakan  nepotisme. Bisikan jahat, jahil dan aji mumpung tidak akan  menjadikan kelurusannya  melentur sedikitpun. Mungkn sekali orang tua tepat menolak dengan tegas bila anaknya memohon untuk  dinikahkan dengan seorang  nonmuslim.  Tangisan anak tidak akan membuat lentur prinsip  yang telah ditetapkan agama. Sifat besi yang lain adalah kekerasan/hardness. Ukuran kekerasan besi dinyatakan dalam angka kekerasan Brinell, Vickers, Rockwell dan lainnya.  Sebuah komponen yang dalam kerjanya bersinggungan dengan komponen lain , misal jurnal poros dengan bantalannya , keduanya harus mempunyai kekerasan yang sama  supaya komponen yang kurang keras tidak kena aus abrasi, adhesi maupun aus fretting.  Dalam hal ini tata interaksi kehidupan manusia akan berjalan  harmonis bila masing-masing mempunyai  sifat kekerasan yang relatif. Pada lingkungan masyarakat yang lemah lembut, santun , toleran maka umat Islam khususnya wajib mempunyai sifat yang sama. Tapi pada lingkungan yang intoleran, penista, arogan  umat islam wajib punya kekerasan agar tidak mudah dipecah belah, di adu domba,  dan tidak dikikis fungsi manusia sebgai khalifah. Pada kenyataannya besi bisa terkorosi  oleh  lingkungan agresif maupun korosi galvanis karena beda tegangan antara kedua komponen besi. Jahatnya korosi ini pada suatu industri menjadi penyebab utama kegagalan fungsi. Korosi harus dicegah disamping besi itu sendiri dibuat menjadi material yang anti korosi. Korosi untuk menghancurkan umat Islam oleh lingkungan agresif harus dicegah. Dari dalam umat Islam harus memperkokoh kesatuan dan persatuan. Beda madzab, beda organisasi, beda partai, beda aliran, beda khilafiyah harus diletakkan pada urutan ke seribu satu. Pencegahan korosi agar Umat Islam  tidak tergradasi dan keropos, ukhuwah islamiah wajib disuburkan, buka jalan sesama muslim bisa mencari rizki, belanja di warung tetangga, kumandangkan budaya tolong menolong diantara sesama  muslim, munculkan perasaan malu bila umat islam saling berseteru, munculkan rasa bersalah bila  umat Islam saling mengalahkan. Sifat penting besi yang akan dibuat menjadi komponen berkualitas adalah tangguh/toughness. Besi tangguh ini mempunyai kekuatan tinggi, sifat deformasi plastiknya besar , kemampuan menyerap beban besar.   Namun demikian hinggi  umat Islam belum tangguh. Beban  besar  yang dihadapi umat Islam adalah kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan , mudah terpecah belah dan diadu domba. Umat Islam harus bahu membahu membangun persatuan kesatuan, membangun ekonomi membangun peradapan , membangun pendidikan dan akhlaqul karimah. Dengan ketangguhan umat Islam, insya Allah Umat Islam mampu menjaga NKRI dan pluraitas,  musuh  Islam yang ingin mengubur umat Islam dapat ditanggulangi.  Sedang untuk besi murni yang unsurnya hampir seratus persen adalah Fe, adalah besi yang lunak dan lemah, tapi  ulet.  Besi murni ini sulit membuatnya. Walau  lemah  dan lunak tapi ketahanan lelahnya bagus  dan mempunyai kemampuan mengikat dan menyatukan komponen-komponen yang keras, yang kaku bahkan yang rapuh. Sifat rapuh ini yang tidak dianjurkan dimiliki oleh umat islam, walau biasanya besi rapuh ini mempunyai kekuatan tinggi. Kejelekan sifat rapuh adalah akan hancur  tanpa tanda sebelumnya bila beban yang menderanya melebihi kekuatannya. Umat islam yang rapuh sulit dibentuk menjadi manusia baru yang berkualitas lebih baik. Sebaliknya manusia besi murni mempunyai keuletan dan kemampuan  menyatukan umat Islam lainnya. Pemimpin dan calon pemimpin wajib mempunyai  sifat besi murni, murni dan ikhlas niatnya, semuanya untuk memburu ridho Allah.

Akhirnya  diketahui  bahwa orang Indonesia khususnya Jawa, bisa membuat produk berbahan baku besi berupa arit/sabit, pedang , keris dan menjadikan ketiga produk tersebut  sebagai falsafah hidup. Sabit mempunyai makna sebagai suatu alat untuk mencari rizki dan bekerja. Pedang sebagai lambng kekuasaan dan penegak keadilan dan keris sebagai pusaka dan martabat. Orang lebih mudah memiliki sabit dibanding pedang  apalagi dibanding memiliki keris. Manusia yang bisa memiliki keris berarti manusia  yang sangat berkualitas yang menjunjung tinggi martabat sebagai manusia dan bangsa. Martabat menjadi pusaka yang harus diusahakan untuk selalu dimiliki dan menyatu dalam dirinya. Namun astaghfirullah dan na’udzubillah manusia modern  telah  menjadikan pedang dan keris menjadi sabit. Mereka telah menyalahgunakan kekuasaan dan martabat untuk memiliki harta tanpa memperdulikan  hukum halal dan haram.

 

Penulis:
Ir. Sunaryo, MP.

Dosen Prodi Teknik Industri UII

Keputusan adalah hal yang akrab dengan kehidupan sehari-hari siapa saja. Tidak perduli tua muda, kaya miskin, laki-laki perempuan, guru murid, pemberi dan penerima, semua orang dari bangun tidur hingga tidur kembali kerap dipaksa untuk memutuskan banyak hal. Meski kebanyakan dari keputusan itu tidak jauh dari aktifitas keseharian, namun terkadang satu dua kali kita-suka-tidak suka- dihadapkan pada permasalahan yang membutuhkan keputusan penting. Kesalahan dalam mengambil keputusan bisa menjerumuskan sesorang dalam penyesalan tidak berujung karena seperti yang harus dipahami semua orang bahwa waktu tidak akan pernah bisa diputar ulang.

Mengambil keputusan pada dasarnya adalah mimilih satu dari sekian banyak alternative yang ada (Terry, 1980). Proses mengambil keputusan bisa jadi singkat dan di lain waktu membutuhkan waktu yang lebih lama. Menurut George R Terry ada lima 5 dasar  yang digunakan sesorang sebagai landasan dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) intuisi- keputusan yang bersifat subjektif dan cenderung terjadi ketika data dan fakta sangat minim atau bahkan mengabaikan data dan fakta yang ada;  (2) pengalaman- pengambilan keputusan melalui perbandingan dengan kejadian-kejadian masa lalu ; (3) fakta- keputusan dengan mempertimbangkan informasi-informasi yang ada sekarang (4) wewenang- otoritas keputusan yang diambil lebih pada status strata;  dan (5) rasional- objektifitas dalam melihat data serta informasi dari berbagai sisi.

Ada banyak sekali model-model pengambilan keputusan yang ditawarkan para ahli seperti The satisficing Model, The Optimizing Decision Making Model, the Implicit Favorite Model, dan the Intuitive Model yang ditawarkan oleh Robin (1991). Ada pula model Pareto Optimally dan The Nash Bargaining Solution yang ditawarkan oleh Bodily (1985) hingga model pengambilan keputusan dengan banyak kriteria (Multi Criteria Decision Making) yang mulai berkembang sejak tahun 1960an.

Pengambilan keputusan sangat tergantung pada konteks kapan, dimana dan situasi keputusan itu diambil. Oleh karena itu meskipun permasalahan yang dihadapi sama, untuk orang yang berbeda, bisa jadi keputusan terbaiknya juga berbeda. Tidak masalah metode apa yang digunakan untuk menghasilkan sebuah keputusan, namun inti dari sebuah keputusan adalah bagaimana menyelesaikan permasalahan dengan cara yang baik sehingga menimbulkan efek konsekuensi yang baik pula. Islam sebagai agama yang mengajarkan kebaikan pada keseluruhan apek kehidupan tentunya telah membahas hal pengambilan keputusan ini. Tidak masalah metode dan tools apa yang digunakan untuk mengambil keputusan, sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip pengambilan keputusan yang telah baku ditetapkan dalam Islam. Prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam Islam adalah sebagai berikut:

Niat, rambu pertama ini didasarkan pada hadist masyur yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim: “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya”. Hendaknya sebuah keputusan diambil dengan niat baik tanpa ada maksud lain yang direncanakan dan diharapkan timbul dari keputusan yang diambil.

Bermusyawarah, rambu kedua ini banyak dibahas dalam ayat-ayat Alquran, diantaranya pada Surat Ali Imran ayat 159: “…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. Keputusan yang diambil bersama dapat dengan maksimal menghindarkan diri dari kekeliruan. Banyaknya informasi dan pertimbangan yang masuk lebih mengarahkan keputusan pada kebenaran.

Menghindari keragu-raguan. Salah satu hal yang ditekankan sebelum mengambil keputusan adalah mengumpulkan informasi dan data pendukung yang relevan sebanyak-banyaknya sehingga keputusan dapat diambil dengan mantap. Keragu-raguan hanya akan menghasilkan keputusan yang lemah dan menyulitkan orang lain. Hal ini sesuai dengan hadist berikut: Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu’.” [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasâ`i. At-Tirmidzi berkata,“Hadits hasan shahîh].

Adil, rambu ketiga ini ditujukan pada output keputusan yang diambil. Surat Al Maidah ayat 8 dengan tegas mengatakan “Berlaku adil-lah, karena perbuatan adil itu lebih dekat kepada taqwa”. Tidak ada keputusan yang lebih baik daripada sebuah keputusan yang adil. Keputusan yang benar berpijak pada konsep kebajikan yang universal yaitu keadilan.
Bertanggung jawab, rambu terakhir adalah sikap yang diambil setelah keputusan diambil. Apapun efek yang ditimbulkan oleh sebuah keputusan, baik buruknya adalah tanggung jawab si pengambil keputusan sesuai dengan hadist berikut: “Kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian” (HR Bukhari Muslim).

Terkadang seseorang sulit mengambil keputusan dikarenakan ketakutan akan efek yang tidak sesuai dengan harapan. Ketika dampak yang ditimbulkan tidak seperti yang diharapkan seseorang cenderung akan menyalahkan dan menyesali keputusan yang diambil. Islam telah melarang umatnya untuk menyesali secara berlebihan atas apa yang telah terjadi Rasulullah bersabda: “Apabila engkau tertimpa suatu kegagalan, janganlah engkau berkata : “Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu. Akan tetapi katakanlah : “Qaddarallahu wamaa Syaa’a Fa’ala” (Ini telah ditakdirkan oleh ALLAH dan ALLAH berbuat apa yang Dia kehendaki). Sesungguhnya ucapan “Seandainya”akan membuka (pintu) perbuatan Syaithan”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim)”.

Islam telah menuntun kita dalam mengambil keputusan dari awal (niat) hingga akhir (penyikapan). Dengan fondasi pengambilan keputusan yang sudah sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman ditambah dengan upaya untuk menjalani dan bertanggung jawab terhadap hasil keputusan maka tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa: tidak ada keputusan yang benar-benar salah, kita hanya tidak pernah tau apa yang akan terjadi jika kita mengambil keputusan yang lain.

 

Penulis:
Harwati, ST., MT