Agar Keputusan Kita Menjadi yang Terbaik

Keputusan adalah hal yang akrab dengan kehidupan sehari-hari siapa saja. Tidak perduli tua muda, kaya miskin, laki-laki perempuan, guru murid, pemberi dan penerima, semua orang dari bangun tidur hingga tidur kembali kerap dipaksa untuk memutuskan banyak hal. Meski kebanyakan dari keputusan itu tidak jauh dari aktifitas keseharian, namun terkadang satu dua kali kita-suka-tidak suka- dihadapkan pada permasalahan yang membutuhkan keputusan penting. Kesalahan dalam mengambil keputusan bisa menjerumuskan sesorang dalam penyesalan tidak berujung karena seperti yang harus dipahami semua orang bahwa waktu tidak akan pernah bisa diputar ulang.

Mengambil keputusan pada dasarnya adalah mimilih satu dari sekian banyak alternative yang ada (Terry, 1980). Proses mengambil keputusan bisa jadi singkat dan di lain waktu membutuhkan waktu yang lebih lama. Menurut George R Terry ada lima 5 dasar  yang digunakan sesorang sebagai landasan dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) intuisi- keputusan yang bersifat subjektif dan cenderung terjadi ketika data dan fakta sangat minim atau bahkan mengabaikan data dan fakta yang ada;  (2) pengalaman- pengambilan keputusan melalui perbandingan dengan kejadian-kejadian masa lalu ; (3) fakta- keputusan dengan mempertimbangkan informasi-informasi yang ada sekarang (4) wewenang- otoritas keputusan yang diambil lebih pada status strata;  dan (5) rasional- objektifitas dalam melihat data serta informasi dari berbagai sisi.

Ada banyak sekali model-model pengambilan keputusan yang ditawarkan para ahli seperti The satisficing Model, The Optimizing Decision Making Model, the Implicit Favorite Model, dan the Intuitive Model yang ditawarkan oleh Robin (1991). Ada pula model Pareto Optimally dan The Nash Bargaining Solution yang ditawarkan oleh Bodily (1985) hingga model pengambilan keputusan dengan banyak kriteria (Multi Criteria Decision Making) yang mulai berkembang sejak tahun 1960an.

Pengambilan keputusan sangat tergantung pada konteks kapan, dimana dan situasi keputusan itu diambil. Oleh karena itu meskipun permasalahan yang dihadapi sama, untuk orang yang berbeda, bisa jadi keputusan terbaiknya juga berbeda. Tidak masalah metode apa yang digunakan untuk menghasilkan sebuah keputusan, namun inti dari sebuah keputusan adalah bagaimana menyelesaikan permasalahan dengan cara yang baik sehingga menimbulkan efek konsekuensi yang baik pula. Islam sebagai agama yang mengajarkan kebaikan pada keseluruhan apek kehidupan tentunya telah membahas hal pengambilan keputusan ini. Tidak masalah metode dan tools apa yang digunakan untuk mengambil keputusan, sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip pengambilan keputusan yang telah baku ditetapkan dalam Islam. Prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam Islam adalah sebagai berikut:

Niat, rambu pertama ini didasarkan pada hadist masyur yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim: “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya”. Hendaknya sebuah keputusan diambil dengan niat baik tanpa ada maksud lain yang direncanakan dan diharapkan timbul dari keputusan yang diambil.

Bermusyawarah, rambu kedua ini banyak dibahas dalam ayat-ayat Alquran, diantaranya pada Surat Ali Imran ayat 159: “…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. Keputusan yang diambil bersama dapat dengan maksimal menghindarkan diri dari kekeliruan. Banyaknya informasi dan pertimbangan yang masuk lebih mengarahkan keputusan pada kebenaran.

Menghindari keragu-raguan. Salah satu hal yang ditekankan sebelum mengambil keputusan adalah mengumpulkan informasi dan data pendukung yang relevan sebanyak-banyaknya sehingga keputusan dapat diambil dengan mantap. Keragu-raguan hanya akan menghasilkan keputusan yang lemah dan menyulitkan orang lain. Hal ini sesuai dengan hadist berikut: Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu’.” [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasâ`i. At-Tirmidzi berkata,“Hadits hasan shahîh].

Adil, rambu ketiga ini ditujukan pada output keputusan yang diambil. Surat Al Maidah ayat 8 dengan tegas mengatakan “Berlaku adil-lah, karena perbuatan adil itu lebih dekat kepada taqwa”. Tidak ada keputusan yang lebih baik daripada sebuah keputusan yang adil. Keputusan yang benar berpijak pada konsep kebajikan yang universal yaitu keadilan.
Bertanggung jawab, rambu terakhir adalah sikap yang diambil setelah keputusan diambil. Apapun efek yang ditimbulkan oleh sebuah keputusan, baik buruknya adalah tanggung jawab si pengambil keputusan sesuai dengan hadist berikut: “Kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian” (HR Bukhari Muslim).

Terkadang seseorang sulit mengambil keputusan dikarenakan ketakutan akan efek yang tidak sesuai dengan harapan. Ketika dampak yang ditimbulkan tidak seperti yang diharapkan seseorang cenderung akan menyalahkan dan menyesali keputusan yang diambil. Islam telah melarang umatnya untuk menyesali secara berlebihan atas apa yang telah terjadi Rasulullah bersabda: “Apabila engkau tertimpa suatu kegagalan, janganlah engkau berkata : “Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu. Akan tetapi katakanlah : “Qaddarallahu wamaa Syaa’a Fa’ala” (Ini telah ditakdirkan oleh ALLAH dan ALLAH berbuat apa yang Dia kehendaki). Sesungguhnya ucapan “Seandainya”akan membuka (pintu) perbuatan Syaithan”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim)”.

Islam telah menuntun kita dalam mengambil keputusan dari awal (niat) hingga akhir (penyikapan). Dengan fondasi pengambilan keputusan yang sudah sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman ditambah dengan upaya untuk menjalani dan bertanggung jawab terhadap hasil keputusan maka tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa: tidak ada keputusan yang benar-benar salah, kita hanya tidak pernah tau apa yang akan terjadi jika kita mengambil keputusan yang lain.

 

Penulis:
Harwati, ST., MT