Bismillaahirrahmanirrahiim

Adalah kewajiban bagi tiap muslim untuk menuntut ilmu. Jika dikaitkan dengan kondisi mahasiswa yang menuntut ilmu dengan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, yang harus menjadi perhatian penting yaitu bagaimana adab menuntut ilmu. Dalam hal ini penulis ingin mengingatkan bahwa kewajiban menuntut ilmu sebenarnya adalah ilmu agama. Ilmu dunia seperti yang dipelajari di perkuliahan hukum asalnya adalah mubah atau boleh. Bahkan akan menjadi lebih baik jika kelak ilmu dunia tersebut, misalnya mata kuliah optimisasi dalam prodi Teknik Industri, dipergunakan untuk kemaslahatan dan kebangkitan umat muslim. Berkata ‘Abdullah bin Mubarak rahimahullah bahwa sesuungguhnya awal dari ilmu itu adalah: (1) niat karena Allaah Ta’ala; (2) mendengarkannya; (3) memahaminya; (4) menghafalkannya; (5) mengamalkannya; dan (6) menyebarkannya.

Bermula dari niat untuk akhirat, niatkanlah bahwa ilmu dunia tersebut untuk membantu kebangkitan kaum muslimin. Tidak jarang mahasiswa menimba ilmu sampai jenjang sarjana hanya untuk mendapatkan nilai yang bagus, kemudian akan dipakai untuk mencari pekerjaan di perusahaan-perusahaan berpredikat baik demi pendapatan yang tinggi. Niat bukan untuk akhirat, alih-alih menuntut ilmu malah menuntut nilai. Bukankah Allah Maha Melihat proses pembelajaran yang dilalui? Dengan menerapkan keyakinan beriman kepada Allah, ketika nilai yang didapatkan tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka akan senantiasa tawakal. Jika sudah belajar dengan penuh kesungguhan, mengikuti cara-cara yang baik dalam proses pembelajarannya seperti berusaha dalam menyelesaikan tugas tanpa meng-copy tugas teman, Allah Maha Tahu segala. Memang sebagai manusia, sering melakukan khilaf dan salah, tidak mudah menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan. Kembali lagi kepada awal ilmu, perbaiki niat bahwa semata karena Allah, untuk akhirat, untuk kebangkitan Islam. Kelak ketika masa hisab datang, tidaklah dipertanyakan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) berapa melainkan mempertanggungjawabkan segala kecurangan yang dilakukan. Karena mata, telinga, tangan, dan semua anggota tubuh akan menyampaikan tiap perbuatan selama di dunia.

Al-Hasan Al-Bashry rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa mengungguli manusia dalam ilmu, maka dia lebih pantas untuk mengungguli mereka dalam amal”. Hal ini menjelaskan bahwa semakin banyak ilmu yang dimiliki oleh seseorang maka semakin banyak amal yang dilakukan. Senada dengan Al-Hasan Bashry rahimahullah, Al-Imam Sufyan bun Uyainah rahimahullah berkata bahwa manusia yang paling bodoh adalah siapa yang meninggalkan apa yang dia ketahui, manusia yang paling berilmu adalah siapa yang mengamalkan apa yang dia ketahui dan manusia yang paling utama adalah siapa yang paling takut kepada Allah Azza Wajalla. Dari keduanya, dapat disimpulkan bahwa manusia yang paling berilmu adalah yang mengamalkan ilmunya. Pada suatu training, pemateri menyampaikan bahwa terdapat suatu aturan yang disebut Rules 72. Yaitu jika sesuatu tidak diulang dalam 72 jam ke depan maka dipastikan seseorang akan lupa dengan apa yang telah dipelajarinya. Dari pengalaman mengajar, sangat sering mahasiswa tidak mengulang materi yang telah diberikan jika tidak diikuti dengan tugas. Di beberapa pertemuan perkuliahan, sebuah pertanyaan sering dilontarkan pada awal sesi, “Kapan terakhir Anda mengulang atau membaca materi minggu lalu?”. Dapat ditebak jawaban mahasiswa adalah minggu lalu pada saat di kelas. Mengamalkan suatu materi yang telah diajarkan dapat berupa mengerjakan latihan-latihan soal baik yang dibagikan oleh dosen maupun dari berbagai referensi, jika mata kuliah hitungan seperti Kalkulus. Sesuai dengan pepatah, ala bisa karena biasa. Semakin sering mengamalkan, semakin terasah kemampuan berhitungnya, semakin faham penerapan suatu rumus. Selain hitungan, mahasiswa harus mampu memahami dasar teori suatu mata kuliah seperti Fisika Dasar. Sebelum menyelesaikan soal hitungan, dibutuhkan kemampuan analisis yang terkadang lebih rumit daripada rumus Fisika itu sendiri. Dengan mengamalkannya melalui pengulangan materi secara mandiri maupun bersama-sama di luar kelas akan membuktikan bahwa ia adalah seorang yang berilmu, memahami suatu ilmu.

Dikisahkan oleh seorang ulama besar, asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbadhafizhahullah tentang akhlak al-Mujaddid al-‘Allamah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, di masjid Universitas Islam di Madinah pada malam Jumat, 6 Safar 1420 H. Beliau asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz memiliki cita-cita yang tinggi, rajin, dan bersemangat dalam menuntut ilmu. Beberapa hal yang dapat dicontoh dari asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz adalah kesabaran dan kesungguh-sungguhan dalam menuntut ilmu, mengamalkan ilmu, khasyah (rasa takut) dan ibadah, ketegaran dan keberanian dalam berdakwah, ketawadhuan dan kepedulian, dan yang terakhir adalah kasih sayang terhadap umat. Ketika usia 16 tahun, beliau mengalami sakit yang mengakibatkan penglihatannya semakin lemah dan tidak mampu melihat pada usia 20 tahun. Namun, Allah Subhanahu wata’ala mengaruniai beliau dengan iman dalam hati sehingga beliau tumbuh di atas ilmu, keutamaan, dan kesungguhan dalam mencari ilmu.

Ketika setiap hasil akhir dari suatu mata kuliah tidak seperti yang ditargetkan, maka senantiasa bersabar. Hal yang menurut pandangan manusia buruk atau jelek, tetapi tidak demikian di sisi Allah. Boleh jadi Allah menegur kita bahwa pada semester itu kita tidaklah benar-benar memanfaatkan waktu untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, mendengarkan yang dijelaskan oleh para dosen. Memperbaiki nilai dengan mengulang pada semester berikutnya bukanlah perkara memalukan selama niatnya karena Allah semata, untuk beribadah. Terkadang kita perlu berada di bawah, merasakan kondisi tidak menyenangkan, agar ketika masa susah itu terlewati kita dapat menghargai masa senang yang didapatkan. Tentunya ikhtiar senantiasa dilakukan, mengikuti tiap proses pembelajaran dengan cara-cara yang ma’ruf, menghindari kecurangan, karena hasil akhir merupakan akumulasi (kumulatif) dari yang telah diusahakan sejak awal semester.

Ilmu terdiri dari tiga tahapan: (1) jika seseorang memasuki tahapan pertama, dia akan sombong: (2) jika dia memasuki tahap kedua, dia akan tawadhu (rendah hati); (3) jika dia memasuki tahapan ketiga, dia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya (Umar bin Khattab). Tentang keutamaan tawadhu, sebuah hadits menjelaskan, “Sedekah itu tidak akan mengurangi harta, tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain melainkan Allah akan menambah kemuliaannya, dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah melainkan Allah akan mengangkat derajatnya” (HR. Muslim, no. 2588). Ada kalanya timbul rasa sombong tatkala kita memahami suatu materi yang dijelaskan dosen, dan dijadikan rujukan oleh teman-teman kelas dalam belajar. Namun, janganlah lupa bahwa sedikit kemampuan yang didapatkan tersebut adalah karena Allah yang Maha Baik. Dengan mudah semua kepintaran yang dimiliki dapat sirna atas izin Allah. Belajar dari padi, semakin berisi semakin merunduk. Alangkah beruntungnya jika kita mampu memasuki tahap ketiga yaitu merasa diri ini tidak ada apa-apanya jika bukan karena segala rizki dan hidayah dari Allah.

Berkata Al-Hasan al-Bashry rahimahullah, “Barangsiapa yang menuntut ilmu dalam rangka ingin mendapatkan keutamaan yang ada di sisi Allah, maka itu jauh lebih berharga dibanding dunia yang matahari senantiasa menyinarinya”. Innamaa a’maalu binniyaati, sesungguhnya tiap amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya. Berangkat dari rumah, tinggal berjauhan dari orangtua dan keluarga, ingin menuntut ilmu di perguruan tinggi, semoga tidak menjadi sia-sia karena tidak disertai akhlak menuntut ilmu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, awal ilmu salah satunya adalah niat. Masih ada waktu untuk memperbaiki, niatkan karena Allah, untuk beribadah, untuk dipergunakan bagi kemaslahatan umat. Diseimbangkan antara menuntut ilmu agama dan dunia demi keselamatan akhirat. Dalam perjalanan perkuliahan terkadang kita tersesat. Senantiasa berdoa mohon kepada Allah agar kita tetap kuat. Aamiin

Penulis

Suci Miranda, S.T., M.Sc.

Dosen Jurusan Teknik Industri

 

Seorang Capster (Pemotong Rambut) saat berbincang dengan pelanggannya, memberikan pernyataan bahwa Tuhan itu tidak ada. Lalu pelanggan tersebut bertanya kepada Capster tersebut, kenapa bisa begitu? Capster tersebut menjawab, karena di luar sana masih banyak terjadi kekacauan, pencurian , perampokan, orang kelaparan dan lain sebagainya. Pelanggan tersebut ingin menjawab, namun mencari jawaban yang tepat. Setelah selesai potong rambut, saat keluar dari barber shop, dia melihat sosok laki-laki berambut panjang yang sedang mendengarkan musik di telinganya. Laki-laki tersebut diajak masuk ke barber shop dan dipertemukan dengan Capster. Lalu si pelanggan mengatakan bahwa tidak ada Capster di dunia ini. Sang Capster  sedikit bingung dengan pernyataan pelanggannya. Capster menjawab, yang salah laki-laki berambut panjang tersebut, mengapa dia tidak mau datang ke barber shop untuk minta tolong dipotong rambutnya. Pelanggan tersebut menjawab, itulah yang terjadi saat ini, manusia yang tidak mau datang ke Tuhannya, sehingga banyak terjadi kekacauan, pencurian, perampokan, orang kelaparan, dan lain sebagainya. Seandainya manusia selalu datang ke Tuhannya, maka keburukan tersebut tidak akan terjadi.

Kisah di atas bercerita tentang seseorang yang tidak percaya akan adanya Tuhan, disebabkan masih banyak terjadi keburukan. Namun kenyataannya adalah manusia sendiri tidak kembali ke Tuhannya, sehingga jauh dari petunjuk Tuhannya sehingga dengan mudah melakukan hal-hal yang buruk. Tidak bisa membedakan mana yang hak dan yang batil. Perlu diketahui bahwa kita hidup di dunia ini sudah takdirnya Alloh, dimana sudah tertuliskan di Kitab Lauhul Mahfudz. Kapan dan dimana kita dilahirkan dan meninggal, siapa jodohnya, dan seberapa besar rezekinya selama hidup, semua sudah tertuliskan di Kitab-Nya Alloh. Mengimani takdir adalah salah satu  rukun islam. Namun Alloh memberikan kesempatan kepada manusia untuk berusaha atau ikhtiar agar dapat mendapatkan hasil yang terbaik.

Itu yang dinamakan Peluang. Peluang untuk mendapatkan hasil yang terbaik dengan cara berusaha semaksimal mungkin. Manusia tidak akan tahu takdirnya sebelum peristiwa itu terjadi. Sebelum peristiwa terjadi, maka manusia harus berusaha semaksimal mungkin. Misal mahasiswa yang ingin mendapatkan nilai A. Kriteria untuk mendapatkan nilai A dapat diketahui sebelumnya, dengan mencapai nilai bobot UTS 30%, UAS 30%, dan Tugas 40%. Maka mahasiswa tersebut akan semaksimal mungkin untuk mendapatkan nilai ujian sempurna dan mengerjakan tugas sesuai kriteria yang telah ditetapkan. Selama satu semester sebisa mungkin untuk selalu hadir di kelas dan mendengarkan apa yang disampaiakan oleh dosen. Setelah semua komponen dilakukan secara maksimal, maka Peluang untuk mendapatkan nilai A terpenuhi.

Namun apa yang terjadi jika Alloh berkehendak lain. Contoh saat dosen akan memberikan nilai A karena semua komponen memenuhi syarat, saat akan mengumpulkan nilai di akademik, tanpa disengaja dosen menuliskan huruf C, dikarenakan dosen tersebut salah membaca nama atau nomor induk mahasiswa tersebut. Itu hak-Nya Alloh semata bila hal tersebut bisa terjadi. Jadi, takdir nilai mahasiswa tersebut adalah C. Jika mahasiswa tersebut menerima takdirnya dengan ikhlas, maka nilainya tetap C. Sebenernya mahasiswa tersebut masih ada Peluang untuk memperbaiki nilai tersebut, dengan menanyakan kepada dosen pengampu atau mengikuti ujian perbaikan. Dengan memaksimalkan usaha atau ikhtiar, mahasiswa tersebut sudah melakukan sesuai dengan prosedurnya, dan hasil akhir adalah kewenangan Alloh.

            “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka. (QS 13:11).

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa kita ada pilihan untuk dapat merubah nasib kita sendiri. Sekali lagi adanya Peluang untuk dapat merubah nasib kita sendiri. Pilihannya adalah apakah kita mau hidup sengsara atau bahagia. Jika pilihannya adalah hidup sengsara, tidak perlu melakukan apa-apa, tidak perlu melakukan aktivitas apapun, bermain judi, menghambur-hamburkan uang, dan lain sebagainya. Begitupula sebaliknya, jika ingin merubah nasib lebih baik, maka kita harus bekerja, berusaha yang terbaik, dan yang paling penting adalah datang ke Alloh untuk selalu mendapatkan ridho-Nya.

Manusia yang sedang mendapatkan ujian dari Alloh itu bukan berarti Alloh benci dengan hamba-Nya, namun dengan ujian akan membedakan siapa yang beriman dan yang tidak beriman. Bagi yang beriman, dengan mendapatkan ujian, akan lebih menguatkan iman orang tersebut, karena disitulah kesabaran orang yang beriman akan diuji.

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS 2:153).

Dengan kesabaran itulah menjadi penolong bagi yang beriman, sehingga masalah seberat apapun tidak menjadi suatu masalah yang besar, namun akan menguatkan keimanan. Maka dari itu, dengan semakin banyak masalah di kehidupan ini, maka akan membentuk kedewasaan seseorang, bukan sebaliknya yang akan menjadikan suatu masalah adalah beban hidup. Belum lama juga terjadi seseorang yang tidak kuat menghadapi masalah hingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Terjadinya keburukan di dunia ini, bukan berarti Tuhan tidak ada, namun yang diinginkan Alloh adalah adanya keburukan, maka diharapkan kebaikan akan muncul pula. Seandainya banyak manusia di dunia ini yang kelaparan, maka diharapkan ada manusia lain yang merasa prihatin dan tergerak hatinya untuk membantu manusia yang kelaparan tersebut. Dengan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Peluang manusia untuk melakukan kebaikan cukup besar. Memaksimalkan usaha dan disertai dengan doa berharap kepada Tuhan yaitu Alloh agar mendapatkan ridho-Nya.

Penulis

Chancard Basumerda, S.T., M.Sc.

Dosen Jurusan Teknik Industri

Ilmu ekonomi adalah cabang ilmu yang mempelajari bagaimana manusia atau masyarakat menggunakan sumber daya yang terbatas dalam rangka memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas dalam bentuk konsumsi produk dan jasa baik saat ini maupun dimasa mendatang (future consumption). Ekonomi teknik atau ekonomika teknik adalah mata kuliah yang mempelajari pengambilan keputusan dengan menggunakan teknik-teknik dalam ilmu ekonomi untuk menilai alternatif-alternatif dalam dunia rekayasa (engineering). Dalam ekonomika teknik, seorang pengambil keputusan perlu mengembangkan beberapa pilihan dengan memperhatikan optimasi efektifitas biaya yang timbul dari pilihan tersebut. Teknik-teknik yang dimaksud adalah:

  1. Net Present Value (NPV), yaitu estimasi neto nilai arus kas selama umur proyek/ umur ekonomis yang dikonversi ke nilai sekarang.
  2. Payback Period, yaitu periode yang dibutuhkan untuk mengembalikan seluruh nilai investasi .
  3. Return on Investment (ROI) atau dalam istilah lain juga dikenal sebagai Rate of Return (ROR), yaitu indikator pengukuran kinerja investasi. ROI adalah rasio yang membandingkan pendapatan dari investasi terhadap nilai investasi itu sendiri.
  4. Internal Rate of Return (IRR) atau sering juga disebut sebagai Economic Rate of Return (ERR), yaitu nilai diskonto (i) ketika NPV bernilai nol.
  5. Benefit Cost Rasio (B/C Ratio), yaitu rasio yang membandingkan nilai manfaat dengan biaya yang dikeluarkan.

Teknik penilaian di atas, memandang interest (i) sebagai variabel yang memegang peran penting dalam mempertimbangkan alternatif-alternatif keputusan. Interest atau bunga dalam bahasa Indonesia, terlahir melalui konsep nilai waktu dari uang atau Time Value of Money (TVM). Uang sering kali didefinisikan sebagai sesuatu yang disepakati oleh masyarakat sebagai alat tukar menggantikan sistem barter yang lebih dahulu dikenal sebelumnya. Konsep TVM memandang bahwa nilai uang merupakan fungsi dari waktu. Artinya, nilai uang pada saat ini (t) akan lebih berharga daripada nilai uang dimasa mendatang (t+n). Hal tersebut menyebabkan ketika uang digunakan untuk memenuhi sebuah kebutuhan, akan ada kesempatan yang hilang daripada sekedar disimpan. Sebagai tambahan, uang merupakan sumber daya yang terbatas, maka pemilik uang harus berhati-hati dalam menggunakannya. Oleh karena itu, ketika mengalokasikan uangnya untuk keperluan tertentu, seseorang atau sebuah organisasi perlu yakin bahwa dimasa mendatang dirinya akan mendapatkan uang dengan nilai yang lebih besar dari sekarang. Dari pemahaman tersebut maka lahirlah adagium bahwa bunga (i) merupakan harga dari uang. Inilah yang menjadi argumen rasional dari berlakunya bunga di tingkat strategis, operasional dan taktis pada sistem perekonomian global.

Bagaimana pandangan Islam mengenai TMV? Sebagian pihak yang membolehkan bunga dalam skema investasi bersandar pada dalil-dalil mengenai hutang dan kemalangan ketika hutang tidak dibayar/ terbayar saat manusia meninggal dunia.

  1. “Terbunuh di jalan Allah menghapuskan seluruhnya kecuali hutang” HR Muslim.
  2. “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam didatangkan kepada beliau jenazah, maka beliau berkata, “Apakah dia memiliki hutang?”. Mereka mengatakan, “Tidak”. Maka Nabipun menyolatkannya. Lalu didatangkan janazah yang lain, maka Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata, “Apakah ia memiliki hutang?”, mereka mengatakan, “Iya”, Nabi berkata, “Sholatkanlah saudara kalian”. Abu Qotadah berkata, “Aku yang menanggung hutangnya wahai Rasulullah”. Maka Nabipun menyolatkannya” HR Bukhari

Hadits-hadits tersebut mengimplikasikan adanya berharganya nilai uang saat ini (jika hutang berbentuk uang). Singkatnya, hal itulah yang membuktikan adanya konsep TMV dalam Islam. Namun, argumen ini memiliki kelemahan yaitu kenyataan bahwa hutang berbeda dengan investasi. Investasi merupakan penyertaan modal dalam sebuah usaha bersama. Investor akan mendapatkan sebagian/ seluruh keuntungan ketika usaha tersebut berhasil dan akan menanggung sebagian/ seluruh kerugian ketika usaha tersebut gagal. Sedangkan hutang adalah sejumlah uang atau barang yang harus dikembalikan dengan jumlah yang sama dalam waktu yang telah ditentukan sebelumnya.

Selain itu, Allah telah jelas melarang praktik muamalah apapun yang mengandung unsur riba. “Orang-orang yang makan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat) bahwa sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.

Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah [2]: 275).

Apabila dipandang dan dipahami bahwa bunga (i) adalah bentuk tambahan dari kegiatan investasi yang harus didapatkan seorang investor, maka interest merupakan salah satu bentuk riba.

Dalam ekonomika dikenal juga sebuah konsep tentang inflasi. Inflasi adalah kondisi dimana harga barang/ jasa mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Suatu saat di Madinah terjadi kenaikan harga yang meresahkan, sahabat meminta Rasulullah SAW untuk menetapkan harga. Kemudian Rasulullah SAW bersabda:

”Sesungguhnya Allahlah yang menentukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta.” HR Abu Daud & Tirmidzi.

Dengan demikian, Islam juga mengakui adanya TMV yang secara alamiah terjadi akibat inflasi, sesuatu yang juga terjadi dimasa Rasulullah SAW.

Dengan demikian, interest pada ekonomika teknik dalam perspektif Islam tidak boleh dipandang sebagai tambahan nilai yang harus didapatkan ketika membuat keputusan investasi. Karena hal itu menjadikan keputusan investasi menjadi ribawi. Interest harus dipandang sebagai besaran yang perlu diwaspadai karena ancaman inflasi yang akan menurunkan nilai investasi yang dilakukan.

Wallahu a’lam bishowab

 

Penulis

Joko Sulistio, S.T., M.Sc., M.T

Dosen Jurusan Teknik Industri

Islam merupakan agama yang telah disempurnakan oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al Maa-idah Ayat 3 yang artinya “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa-idah: 3]. Islam sebagai agama yang sempurna telah mencangkup segala aspek kehidupan manusia, sebagai pedoman hidup manusia agar dapat memperoleh kebahagian dunia dan akhierat. Salah satu aspek yang diatur dalam Islam adalah yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi. Manusia melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan. Salah satu kegiatan ekonomi yang sering dilakukan oleh manusia adalah kegiatan jual beli.

Allah SWT telah menghalalkan praktek jual beli yang sesuai dengan ketentuan dan syari’atNya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 275 yang artinya:” …Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan  riba…(Q.S. al-Baqarah: 275). Rasullullah SAW bersabda: Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim). Maka berdasarkan hadits ini, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan. Namun disisi lain, Rasullullah SAW juga bersabda “Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah. Oleh karena itu seseorang muslim yang melaksanakan transaksi jual beli, sebaiknya mengetahui syarat-syarat praktek jual beli berdasarkan ketentuan Al Qur’an dan Hadits, agar dapat melaksanakannya sesuai dengan syari’at sehingga tidak terjerumus kedalam tindakan-tindakan yang dilarang dan diharamkan.
Syarat-syarat praktek jual beli yang sesuai dengan syariat Islam yaitu:

  1. Transaksi jual beli dilakukan dengan Ridha dan sukarela

Transaksi jual beli yang dilakukan oleh kedua belah pihak, hendaknya dilaksanakan berdasarkan kebutuhan, dan dilakukan dengan ridha dan sukarela tanpa ada paksaan dari pihak manapun, sehingga salah satu pihak (baik penjual maupun pembeli) tidak ada yang dirugikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat An-Nisaa ayat 29 yang artinya : ““… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (Q.S. An-Nisaa: 29). Berdasarkan ayat ini juga, maka diketahui bahwa transaksi jual beli harus dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten yaitu orang-orang yang paham mengenai jual beli, dan mampu menghitung atau mengatur uang. Sehingga tidak sah transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang tidak pandai atau tidak mengetahui masalah jual beli.

  1. Objek jual beli bukan milik orang lain

Objek jual beli merupakan hak milik penuh salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi jual beli. Seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila telah mendapatkan ijin dari pemilik barang. Rasullullah SAW bersabda: Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)

  1. Transaksi jual beli dilakukan secara jujur

Transaksi jual beli hendaknya dilakukan dengan jujur. Rasullulah SAW bersabda: “Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban).
Salah satu contoh transaksi jual beli yang jujur adalah dengan cara penjual menyempurnakan takaran. Hal ini dapat diketahui dalam Allah berfirman asy Syu’araa ayat 181-183 yang artinya adalah ”Sempurnakanlah takaran jangan kamu termasuk orang-orang yang merugi, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus, dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”(Q.S. Asy Syu’araa: 181-183). Allah SWT juga berfirman dalam surat Al Muthaffifiin ayat 1-6 yang artinya: ”Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan di bangkitkan, pada suatu hari yang besar (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam ini” (Q. S. Al Muthaffifiin; 1-6). Transaksi jual beli juga dikatakan dilakukan dengan jujur apabila seorang penjual menjelaskan dengan jujur kondisi barang yang dijualnya kepada pembeli. Penjual akan memberitahukan kepada pembeli apabila terdapat cacat pada barang yang dia jual. Hal ini sesuai dengan sabda Rasullullah SAW yang artinya: Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah)

  1. Transaksi jual beli barang yang halal

Transaksi jual beli yang dilakukan haruslah barang atau jasa yang halal dan atau tidak di larang oleh syariat Islam, seperti jual beli narkoba, dan minuman keras. Rasullullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya” (HR Abu Daud dan Ahmad).

  1. Objek jual beli dapat diserahterimakan

Barang yang menjadi objek jual beli, haruslah barang yang dapat diserah terimakan segera dari penjual kepada pembeli. Rasullullah bersabda: Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim). Sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, hasil sawah yang belum dipanen, dan lain-lain. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung spekulasi atau judi. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 219 dan Surat Al Maidah ayat 90-91 yang artinya “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah bahwa pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” (Al-Baqarah: 219). Hai orang–orang yang beriman sesungguhnya arak, judi, berhala dan mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian dengan khamr dan judi, menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al Maidah: 90-91)

Sedangkan jual beli yang dilarang menurut syari’at Islam adalah:

  1. Transaksi jual beli yang menjauhkan dari ibadah

Transaksi jual beli yang dilakukan, hendaklah tidak melupakan kewajiban manusia untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Jumuah ayat 9-10 yang artinya” “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumuah : 9-10). Allah SWT juga berfirman dalam Surat Annur ayat 37 yang artinya: laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.

  1. Transaksi jual beli barang yang haram

Transaksi jual beli yang dilarang menurut syari’at Islam adalah jual beli barang yang diharamkan seperti jual beli minuman keras, narkoba, barang hasil pencurian dan lain-lain. Karena hal ini juga berarti ikut serta melakukan dan menyebarluaskan keharaman di muka bumi. Rasullullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatukaum memakan sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya” (HR Abu Daud dan Ahmad)

  1. Transaksi jual beli harta riba

“Rasulullah SAW melaknat orang yang makan riba, yang memberi makannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau bersabda : “Mereka itu sama”. (HR. Muslim). Dalam hadits tersebut dapat kita ketahui bahwa Islam melarang transaksi jual beli harta riba.

  1. Transaksi jual beli hasaath

Rasulullah SAW bersabda: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim). Transaksi jual beli hasaath  dilarang karena jual beli dengan kerikil yang dilempar untuk menentukan barang. Membuat pembeli tidak bisa memilih, memilah barang yang sesuai keinginan dan sesuai kualitas barangnya. Sehingga ada salah satu pihak (pembeli) yang dirugikan dalam transaksi jual beli ini. Itulah mengapa jual beli hasaath tidak diharamkan dalam Islam.

 

Pnulis:
Wahyudhi Sutrisni, ST., MM.
Dosen Prodi Teknik Industri

Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah, al Malik, Al Haqq, Al Mubin yang memberikan kita iman dan keyakinan akan islam, sehingga kita masih istiqomah menjalankan sunnahNya, Teriring sholawat serta salam kita haturkan kepada Nabid dan Rosul termulia, beserta sahabat dan keluarganya, serta kepada para pengukutnya yang setia samapai akhir zaman.

Dalam menjalani kehidupan selalu ada hal yang membuat kita bahagia dan ada hal yang membuat kita sedih, di setiap penyakit pasti ada obatnya (QS. Al-Isra`: 82), dalam setiap masalah pasti ada solusinya, dalam berputarnya bumi pada porosnya menhasilkan siang dan malam, dan dalam berputarnya bumi mengeliling matahari juga pasti ada maknanya. Semua ini di ciptakan Allah Azza Wajalla tentu untuk mejaga keseimbangan.

Allah telah mengisyaratkan agar kita hidup seimbang, sebagaimana Allah telah menjadikan alam beserta isinya berada dalam sebuah keseimbangan (Qs. Al-Mulk: 3). Adanya musibah yang membuat manusia bersedih, sehingga manusia bisa belajar dari kesedihanya, membuat manusia bisa lebih bersabar dan bangkit dari kesedihanya dengan bertawakal. Adanya kenikmatan yang membuat manusia bergembira, sehingga manusia bisa belajar dari kegembiraanya, membuat manusia bisa lebih bersyukur. Allah menjadikan siang dengan maksud agar manusia berusaha dan mencari kehidupan (QS. An-Naba’:11), dan Allah menjadikan malam agar manusia bisa beristirahat (QS. Al Mu’minun:61). Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan (QS. Ar-Ruum:23).Dan itu semua di ciptakan Allah dalam keseimbangan.

Imbang, seimbang adalah sebanding; sama berat, derajat, ukuran, dan sebagainya (KBBI: imbang), sehingga kita harus bisa menempatkan kesimbangan ini dalam berbagai lini kehidupan. Keseimbangan (At Tawazun) merupakan salah satu prinsip ajaran Islam. Keseimbangan membuka jalan bagi nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Keseimbangan akan melahirkan kebahagiaan yang ditandai dengan adanya ketenteraman dan kesejahteraan yang merata (Qs. An Nahl: 78).  Keseimbangan menebarkan rasa aman, dan membebaskan manusia dari semua bentuk intimidasi dan rasa takut. Keseimbangan menjamin distribusi kekayaan Negara proporsional, memberi peluang bekerja dan berusaha secara merata (Qs. Albaqarah, 143) . Keseimbangan membebaskan, sedang ketimpangan atau ketidakseimbangan membelenggu. Keseimbangan membahagiakan, dan ketidakseimbangan menyengsarakan. Sesuai dengan fitrah Allah,manusia memiliki tiga potensi, yaitu al-jasad (jasmani), al-aql (akal), dan ar-ruh (ruhani). Islam menghendaki ketiga dimensi tersebut berada dalam keadaan tawazun (seimbang) (QS. Ar-Rahmaan:7-9).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong setiap perusahaan saling bersaing untuk meningkatkan produktivitas dalam memproduksi suatu produk. Perusahaan yang ingin meningkatkan produktivitas memerlukan suatu perencanaan dan pengendalian produksi yang baik, terutama dalam suatu perusahaan yang melibatkan sejumlah besar komponen yang dirakit. Salah satu akibat yang ditimbulkan bila tidak memiliki perencanaan dan pengendalian produksi yang baik adalah ketidakseimbangan pada waktu operasi setiap stasiun kerja. Ketidakseimbangan waktu operasi di setiap stasiun kerja akan mengakibatkan ketidakseimbangan lini produksi, lintasan perakitan menjadi tidak efisien, terjadi penumpukan material atau produk setengah jadi antara stasiun kerja yang tidak seimbang kecepatan produksinya, serta terdapat waktu menganggur di setiap stasiun kerja. Oleh karena itu, proses penyeimbangan lini perlu dilakukan untuk menciptakan keseimbangan dari jalur produksi sehingga proses produksi akan berjalan lancar. Tujuan dari penyeimbangan lini produksi adalah dapat meningkatkan efisiensi produksi. Efisiensi tersebut dapat tercapai dengan menemukan kombinasi pengelompokkan tugas produksi ke dalam beberapa stasiun kerja dengan memperhatikan keseimbangan waktu pada setiap stasiun kerja.

Menurut karakteristik proses produksinya, lini produksi dibagi menjadi lini fabrikasi dan lini perakitan. Kriteria umum keseimbangan lini produksi adalah memaksimalkan efisiensi atau meminimumkan balance delay. Tujuan pokok dari penggunaan metode ini adalah untuk mengurangi atau meminimumkan waktu menganggur (idle time) pada lini yang ditentukan oleh operasi yang paling lambat. Tujuan perencanaan keseimbangan lini adalah mendistribusikan unit-unit kerja atau elemen-elemen kerja pada setiap stasiun kerja agar waktu menganggur dari stasiun kerja pada suatu lini produksi dapat ditekan seminimum mungkin, sehingga pemanfaatan dari peralatan maupun operator dapat digunakan semaksimal mungkin. Dari analisa ini jika distribusi beban kerja yang tidak seimbang menyebabkan salah satu operator mendapatkan beban kerja yang lebih besar dari yang lain.

Jika di lihat dari kacamata islam, ketidakseimbangan beban kerja mencerminkan ketidakadilan. Islam menempatkan setiap manusia, apa pun jenis profesinya, dalam posisi yang mulia dan terhormat. Islam sangat mencintai umat Muslim yang gigih bekerja untuk kehidupannya (QS. Al-Jumu’ah: 10) . Hasil dari bekerja ada pemberian apresiasi berupa gaji /upah. “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan” (Di riwayatkan Imam Al-Baihaqi). Sebegitu pentingnya masalah upah pekerja ini, Islam memberi pedoman kepada para pihak yang mempekerjakan orang lain bahwa prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil dan mencukupi11. Seorang pekerja berhak menerima upahnya ketika sudah mengerjakan tugas-tugasnya, maka jika terjadi penunggakan gaji pekerja, hal tersebut selain melanggar kontrak kerja juga bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Selain ketepatan pengupahan, keadilan juga dilihat dari proporsionalnya tingkat pekerjaan dengan jumlah upah yang diterimanya (http://pengusahamuslim.com/3577-tenaga-kerja-dan-upah-dalam-1823.html). Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”(QS. An-Nahl: 97)

Islam sangat menekankan adanya keseimbangan, dari lini produksi, yang jika tidak seimbang ada salah satu masalah yang timbul yaitu ketidak seimbangan beban kerja, sehingga operator yang mendapatkan beban kerja lebih mengalami “ketidak adilan”, antara beban kerja berbeda dan upah yang diterima. Allah menciptakan waktu siang untuk bekerja dan waktu malam untuk bersitirahat, sehingga keseimbangan waktu bekerja dan bersitirahat perlu di perhatikan, “sesungguhnya tubuhmu punya hak atas dirimu. Kedua matamu memiliki hak atas dirimu”(HR. Bukhari dan Muslim). Namun dalam hal dunia dan akhirat islam mempunyai penilain tersendiri dalam keseimbangan. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS.Al Qashash : 7), Allah memerintahkan kita agar memanfaatkan nikmat dunia yang Allah berikan, untuk meraih kemuliaan akherat. Jika di lihat dari firman Allah tersebut keseimbangan dunia akhirat tidak bisa di samakan ketika kita sedang berbuat di dunia. “Aku tidaklah ciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah hanya kepada-Ku“(QS. Adz-Dzariyat: 56) Ayat ini menunjukkan bahwa ibadah adalah tujuan utama kita diciptakan. Sehingga akhirat sebagai tujuan akhir dari perjalanan umat manusia memiliki porsi lebih besar “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, juga kebaikan di akhirat. Dan peliharalah kami dari siksa neraka“(QS. Albaqoroh: 201) di ayat ini ada 1 permintaan untuk dunia dan 2 permintaan untuk kehiduap akhirat Inilah isyarat, bahwa kita harus lebih memikirkan kehidupan akherat, wallohu a’lam.

Penulis.
Muchamad Sugarindra, ST. MT.

Dosen Prodi Teknik Industri

Kita tentu masih ingat tentang kisah Qarun.  Qarun adalah sepupu Musa, anak dari Yashar adik kandung Imran, ayah Musa.  Kehidupan Qarun pada awalnya sangatlah miskin dan memiliki banyak anak.  Pada suatu kesempatan ia meminta tolong kepada Musa untuk mendoakannya kepada Allah agar memiliki harta benda.  Permintaan tersebut dikabulkan oleh Allah.  Tidak kurang dari ribuan gudang harta berlimpah penuh berisikan emas dan perak.  Akan tetapi, harta tersebut tidak menjadikannya dekat kepada Allah, malah sebaliknya menjadikan ia sebagai orang sombong dan suka pamer.  Pada suatu saat, ketika Qarun keluar membawa seluruh hartanya untuk dipamerkan kepada orang-orang, dan tidak dinyana dan tidak diduga bumi menelannya atas perintah Allah, sehingga Qarun binasa beserta seluruh hartanya dan istananya.  Begitulah Allah menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya.  Kisah Qarun ini diabadikan oleh Allah dalam QS Al-Qashash: 76-83.

Setiap manusia tidak akan pernah merasa cukup berapapun harta yang diberikan Allah kepadanya.  Padahal Allah telah memberikan untuk setiap makhluk hidup di dunia ini sesuai dengan kadarnya.  … dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya (QS. Ar-Rahman (55) : 33; QS. Ash Talaq : 3 ;QS. Fathir : 43 ;QS. Asy-Suraa : 17 ;QS. Al-Qamar : 49). Allah menciptakan segala sesuatu sesuai dengan kadarnya memberikan hikmah yang cukup besar bagi makhluk yang bisa berfikir.

Kreativitas manusia sebagai khalifah di muka bumi dengan keunggulan akliyahnya, memanfaatkan sumber daya yang ada di bumi.  Setiap sumber daya mempunyai karakteristik dengan ukuran tertentu menurut ukurannya masing-masing sesuai dengan sunnatullah dan tidak akan berubah untuk selamanya.  Menjadi kewajiban manusia untuk dapat memanfaatkan sumber daya yang ada di bumi demi kemaslahatan diri sendiri maupun masyarakat.  Manusia akan mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang diusahakannya.  Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi (QS Yunus ayat 101).  Ini berarti bahwa manusia diharuskan untuk selalu mengadakan penelitian mengkaji hal-hal yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia dengan menggunakan metode-metode tertentu yang berhubungan dengan karakteristik sumber daya yang ada.

Penelitian atau penyelidikan itu tentu membutuhkan metode atau alat untuk mampu menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.  Matematika dan statistika mampu menjawabnya.  Setiap permasalahan dapat dideskripsikan dan dianalisis, sehingga dapat dilakukan estimasi atau prediksi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di berbagai bidang yang melingkupi kehidupan manusia, meliputi bidang ekonomi, industri, bisnis, ataupun bahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam statistika terdapat hal penting yang dapat digunakan untuk menguji kebenaran atau pengetahuan akan suatu penelitian.  Itulah yang disebut hipotesis.  Jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya.  Manusia dalam setiap langkah hidupnya sebenarnya melakukan pula proses pembuatan hipotesis atau pendugaan.  Sering yang kita lakukan adalah melakukan praduga negatif terhadap apa yang terjadi pada diri kita tanpa melihat apa sesungguhnya hikmah yang direncanakan Allah.

Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya.  Saat kita melakukan praduga negatif maka terkadang hal tersebut menjadi kenyataan. Ada baiknya untuk kita melakukan introspeksi diri sampai sejauh mana kita dapat berupaya untuk selalu berfikir positif sehingga hipotesis nol atau hipotesis awalnya menjadi dapat diterima pada hasil akhirnya.

Silih berganti antara kesenangan dan ujian yang harus dihadapi oleh manusia tidak akan pernah usai hingga maut menjemput.  Hal itu menjadikan kita harus mampu untuk menjadi pribadi  yang selalu bersyukur dan bersabar dalam menghadapinya.  Sebagai muslim yang beriman kita wajib meyakini bahwa segala kejadian yang menimpa kita berasal dari kekuasaan Yang Maha Besar yakni Allah SWT.  Tidak ada yang luput dari pengawasannya.  Setiap langkah kaki kita bahkan deru nafas kita ataupun pikiran yang melintas di benak kita selalu ada dalam pengawasan-Nya.  Perkataan adalah do’a.  Allah akan mengabulkan do’a melalui mengabulkan secara langsung, mengundurkan waktunya, atau mengganti dengan yang lebih baik.  Sehingga kita harus selalu memperhatikan segala tindakan dan perkataan kita agar dapat bijak untuk dapat menanamkam di benak kita ungkapan “possitive thinking”.

Semua yang ada dalam kehidupan ini juga merupakan hipotesis.  Hipotesis yang diberikan sebagai dasar dalam kita mengarungi kehidupan ini adalah hipotesis yang harus kita cari kebenarannya dalam Al Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW.  Jika kita berpegang dengan dua hal tadi maka kita akan selamat di dunia dan di akherat.  Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16).  Semoga kita dapat meraih kehidupan dunia tanpa berlepas dari mempersiapkan kehidupan di akherat.

Jangan pernah kita berputus asa dari rahmat Allah.  Sekali lagi Allah yang telah menciptkan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran dengan serapi-rapinya (QS Al Furqon :2).  Beruntunglah orang yang telah memahami hakekat penciptaan dirinya karena dia akan memhami Penciptanya.  Setiap manusia diciptakan dengan sempurna dan diberikan kecukupan kenikmatan sesuai dengan kadar kemampuannya.  Sifat yang harus dimiliki oleh setiap muslim adalah sifat qana’ah atau merasa cukup.  Dengan sifat qana’ah tersebut menjadikan kita menjadi orang yang beruntung.  Ada kalanya kita terpeleset atau bahkan tergelincir, tetapi harus kita kembalikan lagi kepada jalan yang lurus, jalan kebenaran Islam.  Itulah rahasia Illahi dalam setiap detik yang harus kita jalani untuk menggapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan menjadikannya bekal dalam kehidupan yang kekal abadi di akherat kelak.  Wallahu ‘alam bishshawab.

 

Penulis:
vembri Noor Helia, ST., MT.

Dosen Prodi Teknik Industri

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, buah karya Al-Imam Al-Ghazali, dikisahkan terdapat seekor makhluk yang datang ke suatu desa yang berisi orang-orang buta. Masing-masing dari mereka memegang salah satu bagian dari makhluk tersebut dan mendeskripsikan kepada yang lain tentang seperti apa bentuk dan nama makhluk yang sedang mereka terka ini. Ada yang mengatakan bahwa makhluk tersebut adalah ular karena bentuknya yang panjang dan bisa meliuk-liuk sejenis ular piton. Ada juga yang mengatakan bahwa itu bukan makhluk hidup, tapi hanyalah sebuah karpet karena bentuknya yang lebar, tebal, dan bisa digulung. Namun ada juga yang cukup percaya diri dan mengatakan bahwa jawaban mereka semua adalah salah, dan menjawab bahwa itu adalah sebuah tiang bangunan karena ukurannya besar dan tinggi, seukuran dengan tiang bangunan pada umumnya. Tetapi realitanya mereka semua mengemukakan jawaban yang salah karena makhluk yang sebenarnya mereka raba adalah gajah. Persepsi bahwa makhluk tersebut adalah ular, muncul karena yang dipegang adalah bagian belalai. Persepsi karpet muncul karena yang dipegang adalah telinga, sedangkan persepsi tiang bangunan muncul karena yang dipegang adalah kaki gajah. Kesalahan persepsi timbul karena mereka hanya mengenali suatu objek hanya dari satu bagian saja, dengan kata lain tidak mempelajari suatu objek secara menyeluruh.

Berkaca pada cerita di atas, dalam kehidupan sehari-hari kita pun terbiasa untuk melihat suatu masalah berdasarkan bagian-bagian tertentu, dan bukan memahaminya sebagai suatu cakupan yang sifatnya menyeluruh atau yang dikenal sebagai sistem. Kita cenderung melihat suatu masalah, mencerna informasi, dan pada akhirnya merasa cocok dengan pendapat tertentu yang mirip dengan atribut maupun kepentingan yang kita miliki. Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan pada Journal of Economic Literature tahun 2017, fenomena ini disebut sebagai information avoidance, yaitu fenomena yang menggambarkan bagaimana orang-orang memilih realitas mereka sendiri, yaitu dengan sengaja menghindari informasi yang mengancam kebahagiaan dan kesejahteraan mereka. Sebagai contoh, beberapa orang akan memilih untuk tidak melihat kandungan kolesterol maupun kalori dalam makanan favoritnya dan tetap menyantapnya, atau contoh lain, beberapa orang hanya akan memilih sumber berita atau judul artikel tertentu yang mereka pikir sesuai dengan ideologi politiknya.

Kecenderungan untuk menghindari informasi tentu berbahaya, karena membuat kita tidak mampu lagi melihat suatu masalah secara sistem atau menyeluruh, namun hanya melihat dari bagian-bagian tertentu yang hanya kita sukai, dianggap menarik dan cocok dengan atribut-atribut subjektif. Sedangkan di dalam Q.S Al-Baqarah (2) ayat 216, Allah SWT berfirman yang artinya:

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Ayat tersebut merupakan peringatan kepada kita, untuk berhati-hati dalam menyukai atau membenci suatu hal. Selain itu, dalam ayat tersebut kita juga diingatkan bahwa kita manusia sebenarnya memiliki pengetahuan yang tidak seberapa karena ada hal-hal yang kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Oleh karena itu disinilah pentingnya kita untuk terus belajar, mencari informasi dengan pikiran yang terbuka sehingga kita mampu menerima kebenaran tanpa harus memilih-milih yang disukai serta tidak menolak kebenaran yang disampaikan kepada kita. Di dalam Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda yang artinya:

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)

Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa bentuk sombong terhadap kebenaran (al haq) yaitu dengan tidak menerimanya. Setiap orang yang menolak kebenaran maka dia telah sombong karena disebabkan oleh penolakannya tersebut.  Maka wajib bagi kita untuk mau menerima kebenaran, yaitu kebenaran yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Tentang kesombongan dalam menerima kebenaran telah dijelaskan di dalam Q.S Az-Zumar (39) ayat 59, dimana Allah SWT berfirman yang artinya:

”(Bukankah demikian) sebenarnya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan kamu adalah termasuk orang-orang yang kafir.”

Dengan mempelajari system thinking, seharusnya kita tidak menjadi bagian dari fenomena information avoidance. Karena tentu kita menyadari bahwa ketidakmampuan untuk mendapatkan gambaran masalah secara menyeluruh atau big picture, akan berimbas pada baik atau buruknya keputusan yang diambil. Maka tentu saja, untuk mendapatkan big picture dari suatu masalah, dibutuhkan upaya untuk mencari kejelasan atau yang disebut juga sebagai tabayyun. Istilah tabayyun berasal dari akar kata bahasa arab yaitu: tabayyanayatabayyanutabayyunan, yang berarti mencari kejelasan hakekat atau kebenaran suatu fakta maupun informasi dengan teliti, seksama dan hati-hati.

Di era informasi ini banyak frame maupun caption yang dibuat oleh khalayak untuk menampilkan bagian tertentu dari suatu berita, yang turut mengaburkan esensi dari informasi yang sesungguhnya. Hal tersebut membuat masyarakat hanya melihat suatu fenomena atau masalah hanya dari satu sisi saja, dengan tujuan penggiringan opini, menyenangkan pada penghindar informasi, menyebar fitnah, maupun untuk mencari popularitas. Maka inilah yang membuat informasi yang diberikan, terkadang bukan berdasarkan nilai “keshahihan” nya, namun dari banyaknya like dan seberapa panasnya informasi tersebut. Oleh karena itu disinilah peran kita sebagai intelektual muslim untuk ber-tabayyun sehingga dapat memahami fakta, informasi, maupun fenomena secara benar, menyeluruh, dan teliti. Tentang tabayyun, Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Hujurat (49) ayat 6 yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik membawa sesuatu berita, maka selidikilah (untuk menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini dengan sebab kejahilan kamu (mengenainya) sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu telah lakukan.”

Proses tabayyun dikatakan berhasil apabila mampu mengungkap fakta yang terjamin akurasinya, dan didasarkan atas analisis yang jernih tanpa adanya intervensi atribut-atribut subjektif. Dengan membiasakan sikap tabayyun inilah akan menghasilkan suatu pola pikir yang jernih yang membuat kita berhati-hati dan teliti dalam menerima kabar atau berita. Melalui kejernihan berpikir inilah kemudian akan terbangun sikap kearifan dan kesadaran bahwa dibutuhkan ilmu atau pengetahuan sebelum mengambil tindakan. Dalam Q.S. Al-Isra’ (17) ayat 36, Allah SWT berfirman tentang pentingnya memiliki pengetahuan atau ilmu sebagai landasan sebelum bertindak:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”

Ayat tersebut merupakan pengingat bagi kita, bahwa setiap tindakan yang akan kita lakukan haruslah dilandasi dengan pengetahuan, dan bukan sekedar asal ikut-ikutan yang dapat menjerumuskan kita kepada sikap taqlid buta. Di dalam Al-Qur’an, kita pun diperintahkan untuk bertanya kepada ahli ilmu (‘ulama) jika kita tidak memiliki pengetahuan tentang suatu hal. Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nahl (16) ayat 43 dan 44 yang artinya:

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,”

Kita bisa tarik kesimpulan bahwa untuk memahami suatu masalah atau sistem diperlukan usaha tabayyun yang diiringi dengan pengetahuan sebagai landasannya. Namun sebagai intelektual muslim, juga perlu kita sadari bahwa kebenaran maupun fakta ilmiah yang kita temukan melalui proses tabayyun, sifatnya tidak mutlak melainkan relatif, yang berarti tidak menutup kemungkinan adanya temuan orang lain yang lebih baik. Sesungguhnya kebenaran yang mutlak hanyalah milik Allah SWT. Maka, perlu kita sadari bahwa sebaik-baiknya cara berpikir manusia tetap ada batasnya, karena terkadang tidak semua masalah atau fenomena dapat dipahami dan diselesaikan dengan logika manusia. Sehingga, jalan keluarnya adalah mengembalikan semua urusan kepada Sang Pemilik alam semesta, Allah Subhaanahu Wa Ta’aala, yang berfirman dalam surat Al-Hajj (22) ayat 70 yang artinya:

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfudz). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.”

Oleh karena itu sebagai intelektual muslim, baik pemahaman, kemampuan berpikir, dan ilmu pengetahuan yang Allah SWT berikan kepada kita, hendaknya menjadikan kita semakin rendah hati, bertaqwa, berhati-hati dalam bertindak, dan men-taddaburi ayat-ayat qauliyah maupun kauniyah, serta membuat kita semakin bersemangat untuk mencari ilmu pengetahuan dan mengimplementasikannya untuk kesejahteraan manusia dan seluruh alam sebagai bentuk rahmatan lil ‘alamin.

 

Penulis
Andrie Pasca Hendradewa, S.T., M.T

Dosen Prodi Teknik Industri

Mengajar adalah salah satu tugas pokok dosen di samping penelitian, pengabdian masyarakat, dan dakwah Islamiyah. Sebagai dosen yang beragama Islam, mengajar bagi kita bukan hanya menjadi mata pencaharian tapi juga merupakan suatu ibadah. Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana caranya agar mengajar tidak hanya sekedar menjadi “ladang uang”, namun juga bisa menjadi “ladang amal” untuk kita?

Keutamaan mengajar
Beruntunglah orang-orang yang berilmu. Allah SWT meninggikan derajatnya di atas manusia rata-rata. Sebuah nikmat yang tidak bisa dimiliki oleh semua orang. Oleh sebab itu, wajar jika orang yang berilmu dituntut tanggung jawab lebih karena ilmu yang dimiliki. Di satu pihak ilmu adalah nikmat untuknya, di pihak lain ilmu adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.

“…. niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat….” (Q.S. Al-Mujadilah : 11).

Menyampaikan ilmu dan menyebarluaskannya kepada orang lain hukumnya wajib. Allah SWT berfirman:

“…. Dan Kami turunkan kepadamu az-Zikr (al-Quran) agar kamu terangkan kepada para manusia apa yang akan diturunkan kepada mereka, dan agar mereka berpikir.” (Q.S. An-Nahl : 44)

Ada banyak keutamaan orang yang berilmu dan mengajarkan ilmu yang disebutkan dalam Al Quran dan Al Hadits. Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Keutamaan seorang yang berilmu atau ahli ibadah adalah sebagaimana keutamaanku atas orang yang terendah dari kalian.”

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang soleh.” (HR. Muslim)

“Jadilah engkau orang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mau mendengarkan ilmu, atau orang yang menyukai ilmu. Dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima, maka engkau akan celaka.” (HR. Baihaqi)

Re-orientasi niat mengajar
Mencermati nash-nash tentang keutamaan mengajarkan ilmu, sebagai dosen harusnya kita menumbuhkan kesadaran dalam memperbanyak bekal amal shaleh. Re-orientasi niat mengajar adalah salah satu cara untuk itu. Jika selama ini mengajar kita lakukan untuk menggugurkan kewajiban, maka niat itu sekarang harus kita perbaiki, mengajar adalah proses mengolah “ladang amal”. Karena kebahagiaan hanya dapat diraih dengan amal kebaikan dan menyebarkan manfaat kepada orang lain.
Sebagaimana kita pahami, ilmu adalah investasi yang abadi. Rasulullah SAW telah menggambarkan, ilmu tidak pernah berkurang saat dibagi, bahkan bisa melimpah dengan berkahnya. Ilmu tidak akan habis atau hilang walau dibagi semuanya kepada orang lain. Pahala ilmu tidak akan terhenti meski pemiliknya meninggal dunia.

Adab dalam mengajar
Calon mahasiswa di awal perkuliahan biasanya mendapatkan materi adab dalam belajar, idealnya calon dosen atau dosen pemula juga mendapatkan materi adab dalam mengajar. Sayangnya, dalam kegiatan pra-jabatan dosen lebih menekankan pada materi metode mengajar daripada adab mengajar. Metode dengan adab mengajar dua hal yang berbeda. Adab mengajar untuk menghadirkan jiwa dosen dalam sebuah kelas, sedangkan metode adalah cara mengajar.
Mengadopsi adab mengajar K.H. Hasyim Asyari yang ditulis oleh Ilham Kadir, berikut ini beberapa adab yang perlu kita perhatikan dalam rangka menjadikan kegiatan mengajar sebagai proses mengolah “ladang amal”:
1. Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan
2. Menghindarkan ketidakikhlasan dan mengejar keduniawian
3. Hendaknya selalu melakukan muhasabah (instropeksi diri)
4. Menggunakan metode yang mudah dipahami
5. Membangkitkan antusias mahasiswa dan memotivasinya
6. Memberikan latihan-latihan yang sifatnya membantu
7. Selalu memperhatikan kemampuan mahasiswa
8. Tidak terlalu mengorbitkan salah seorang mahasiswa dan menafikan yang lainnya
9. Mengarahkan minat mahasiswa
10. Bersikap terbuka dan lapang dada terhadap mahasiswa
11. Membantu memecahkan masalah dan kesulitan mahasiswa
12. Bila ada mahasiswa yang berhalangan hendaknya mencari hal ikhwal kepada teman-temannya
13. Tunjukkan sikap arif dan penyayang kepada mahasiswa
14. Selalu rendah hati, tawadhu

Mengajar dengan jiwa
Ada mahfudzat yang berbunyi: Ath-thariqah ahammu minal madah (metode lebih penting dari materi ajar/kurikulum), al-mudarris ahammu min ath-thariqah (pengajar lebih penting dari metode), wa ruhul mudarris ahammdu min mudarris (jiwa pengajar lebih bermakna dari pengajar). Ini sesuai dengan pendapat Sir Pency Nunn, guru besar pendidikan di University of London yang mengatakan bahwa baik buruknya suatu pendidikan tergantung kebaikan, kebijakan, dan kecerdasan pengajar.
Menurut Adian Husaini, jiwa pengajar adalah kunci kemajuan pendidikan sekaligus kemajuan bangsa. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang bersih dari penyakit syirik, dengki, riya’, nifak, sombong, cinta dunia, gila jabatan, penakut, lemah semangat, dan sebagainya.

Meningkatkan pengetahuan
Setiap muslim mempunyai dua kewajiban yang berkaitan dengan ilmu, yaitu belajar dan mengajar. Mengajarkan ilmu itu wajib, demikian juga mencari ilmu juga wajib. Hal ini tentu saja berlaku bagi kita sebagai dosen. Memperbanyak modal ilmu adalah kewajiban kita. Seluas ilmu yang kita miliki sebentang itu pula manfaat ilmu yang dapat kita tebar.
Ada sebuah ungkapan yang berbunyi, faqidu asy-syai la yu’thi (orang yang tidak memiliki sesuatu tidak mungkin bisa memberikan sesuatu). Oleh karena itu, meningkatkan pengetahuan harus selalu kita lakukan agar kita bisa memberi lebih banyak manfaat.

Kembangkan kemampuan menulis dan publikasi
Para salafus shaleh dan ulama-ulama kita adalah generasi yang sangat produktif dalam membuat tulisan. Ribuan kitab yang menjadi rujukan umat Islam dalam hal tafsir, fiqih, aqidah, ahlak, serta ilmu pengetahuan alam, merupakan buah karya dari tradisi ilmu yang dimiliki oleh ulama-ulama kita di masa lalu dan hingga kini menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan modern. Dengan teladan ini seharusnya kita sebagai dosen lebih produktif dalam melahirkan tulisan-tulisan yang bermanfaat.
Fathul Wahid mengatakan, slogan “publish or perish” (publikasi atau mati mendadak) sangat terkenal di kalangan akademisi Amerika. Menurutnya, publikasi memegang peranan sangat penting dalam tradisi keilmuan. Dengan publikasi itu, hasil-hasil penelitian dapat disampaikan kepada audien yang lebih luas, dan akan membuka pintu kemanfaatan yang lebih lebar.

Mahasiswa sebagai partnership
Dalam usaha memperbanyak modal ilmu, sebaiknya mahasiswa kita libatkan. Mahasiswa hendaknya tidak lagi menjadi obyek namun dijadikan subyek dalam kegiatan perkuliahan, sehingga proses transfer ilmu pengetahuan bisa terjadi dalam dua arah. Dengan kata lain, mahasiswa adalah partnership kita dalam meningkatkan pengetahuan. Caranya adalah dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menyampaikan topik yang telah mereka pelajari terlebih dahulu sebelum kita memberikan materi kuliah. Berdasarkan pengalaman, ada banyak pengetahuan baru yang bisa diperoleh dari apa yang disampaikan mahasiswa, yang tidak penulis dapatkan sebelumnya. Memberikan pujian dan nilai yang baik kepada mereka adalah bentuk-bentuk penghargaan yang bisa kita berikan. Biasanya mahasiswa akan lebih antusias dan termotivasi untuk belajar. Tentu saja belajar mandiri tetap harus selalu dilakukan oleh setiap dosen.
Sekali lagi kita ingat, setiap kita wajib menjadi pengajar atau pembelajar atau keduanya. Allah berfirman dalam Al Quran Surah Ali Imran ayat 79:

“…. Hendaknya kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”

Wallahu a’lam bishawab

 

Penulis:

Qurtubi, ST., MT.
Dosen Teknik Industri

Ujian atau masalah merupakan sesuatu yang kita hadapi setiap hari. Allah SWT menghendaki keadaan manusia berbeda-beda sebagai sebuah ujian. Ujian kesulitan, ujian kehilangan, kekurangan, musibah, penyakit, kemiskinan adalah masalah biasa yang dihadapi oleh manusia selama hidup di dunia ini. Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang meminta kepada Allah untuk hidup susah, namun berhatikanlah firman Allah berikut ini,

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ’Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” [QS. Al-Ankabut : 2-3]

Melalui ayat ini, Allah menjelaskan bahwa setiap orang yang beriman pasti akan diberi ujian ataupun masalah, dan ketika dihadapkan pada sebuah masalah, manusia akan dihadapkan pada proses pengambilan keputusan terkait dengan pemecahan masalah tersebut. Sikap seseorang dalam menghadapi sebuah permasalahan tentu saja berbeda-beda, proses seseorang dalam pengambilan keputusan pun juga bermacam-macam.

Pengambilan keputusan dapat diartikan sebagai suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari banyak alternatif dengan cara yang dianggap paling efisien sesuai dengan situasi. Ada banyak pendekatan yang dapat dilakukan untuk menilai mana alternatif terbaik. Beberapa orang menggunakan pendekatan qualitatif dalam proses pengambilan keputusan. Pendekatan ini bisanya dilakukan dengan focus group discussion, expert judgement, berdasarkan pengalaman pribadi, atau bahkan hanya dengan berdasarkan insting pribadi. Jika masalah yang dihadapi tidak terlalu rumit, atau orang yang berada dalam proses pengambilan keputusan tersebut dirasa sudah cukup ilmu dalam melakukan pertimbangan pemecahan masalah, maka pendekatan ini bisa dilakukan karena dirasa lebih cepat dan mudah. Akan tetapi jika masalah yang dihadapi lebih kompleks, dan orang-orang yang berada pada proses pengambilan keputusan masih memerlukan banyak informasi, maka pendekatan quantitatif dapat dilakukan. Pendekatan quantitatf ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang mendukung proses pengambilan keputusan dan data-data tersebut kemudian dianalisa dengan cara yang sistematis dengan menggunakan sebuah metode pengambilan keputusan. Menurut teori popular analisa keputusan, ada banyak metode yang dapat digunakan antara lain SAW, TOPSIS, AHP, dan ANP. Metode-metode tersebut biasanya dikaitkan dengan teknik Multiple Criteria Decision Making (MCDM) atau pengambilan keputusan dengan melibatkan banyak kriteria. Kriteria merupakan parameter yang digunakan sebagai landasan dalam membandingkan alternatif dalam pengambilan keputusan. Sebagai contoh, masalah yang kita hadapi adalah memilih jodoh. Misalnya kita sudah memiliki alternatif A, B, dan C yang bisa kita pilih sebagai orang yang akan dinikahi. Dalam proses pengambilan keputusan ini, kita membandingkan ketiganya berdasarkan kriteria agama, pendidikan, perkerjaan, dan fisik. Jika menggunakan pendekatan qualitatif, kita dapat bertanya dengan orang yang dirasa lebih berpengalaman (expert judgement), atau kita bisa mengambil keputusan berdasarkan pengalaman atau insting tanpa melakukan perhitungan apapun. Namun jika menggunakan pendekatan quantitatif misalnya dengan AHP, maka kita harus melakukan analisa yang cukup panjang. Pertama harus membuat kuesioner terkait dengan penilaian terhadap kriteria dan alternatif menggunakan perbandingan berpasangan (pairwise comparison), kemudian meminta beberapa orang yang mengenal ketiga orang tersebut untuk melakukan penilaian, kemudian melakukan perhitungan berdasarkan hasil kuesioner hingga didapatkan rangking dari tiga alternatif tersebut. Sehingga dengan hasil tersebut membantu kita dalam menentukan mana kira-kira jodoh terbaik.

Cara pengambilan keputusan yang telah dibahas sebelumnya, merupakan pendekatan yang biasa dilakukan dalam perpektif ilmiah. Kemudian bagaimana proses pengambilan keputusan dalam perspektif Islam? Pendekatan qualitatif maupun quantitatif semuanya dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang melibatkan penilaian manusia (human judgement). Kita sebagai umat Islam, berdasarkan QS. Al-Ankabut: 2-3 yang telah disebutkan diatas, meyakini bahwa setiap masalah yang ada adalah datang dari Allah, dalam mencari solusi pemecahannya pun seharusnya kita juga melibatkan Allah. Tidak ada salahnya menggunakan human judgment dalam pengambilan keputusan, tapi kita tetap harus yakin bahwa Allah-lah sebaik-baiknya pemberi keputusan.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” [QS. Al-Baqarah : 216]

Jelas disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 216 tersebut, bahwa Allah-lah sebaik-baiknya tempat kembali ketika kita dihadapkan pada sebuah masalah dan pada sebuah proses pengambilan keputusan. Tidak jarang dari kita kemudian melakukan sholat Istikharah untuk melibatkan Allah dalam setiap pencarian solusi setiap masalah kita. Nabi Muhammad SAW, bersabda

” Jika Salah seorang  diantara kalian berniat dalam suatu urusan maka lakukanlah Shalat Sunah dua Raka’at yang bukan Shalat Wajib, kemudian bedoalah meminta kepada Alloh” [HR. AL – Bukhari]

Dengan melakukan sholat istikharah, diharapkan dapat menghindarkan kita dari sifat subjekti dan mementingkan hawa nafsu. Dengan shalat istikharah juga dapat menghilangkan keragu-raguan dan memunculkan kemantapan hati dalam memilih alternatif terbaik.

Jika dalam perspektif ilmiah dikenal istilah focus group discussion sebagai salah satu cara dalam mengambil keputusan terhadap suatu masalah, istilah ini dalam Islam disebut sebagai musyawarah. Di dalam musyawah pun tetap harus melibatkan Allah. Keputusan yang diambil tentu merupakan keputusan bersama bukan karena kepentingan sepihak dan tentu saja berlandaskan pada nilai-nilai kebenaran yang tercantum baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul. Islam mengatur bahwa dalam musyawah perlu memegang prinsip adil, amanah, istiqamah, dan jujur. Adil berarti tidak berat sebelah atau tidak hanya memperhatikan kepentingan suatu pihak, amanah berarti ketika keputusan telah diambil maka kita memiliki tanggung jawab dalam pelaksanaan keputusan tersebut dikemudian hari, istiqamah berarti memiliki keteguhan hati untuk dapat melaksanakan keputusan tersebut sesuai dengan syariat Islam, sedangkan prinsip yang terakhir berarti kita harus selalu bersikap jujur termasuk dalam proses pengambilan keputusan maupun melaksanakan hasil keputusan. Dalam QS. Ali Imran: I59 Allah berfirman,

“Maka disebabkan rahmat dari Allah swt-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, dan apabila kamu telah membulatkan tekad maka berdakwahlah kepada Allah swt, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” [QS. Ali Imran: I59]

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa dalam pengambilan keputusan tentu akan terjadi banyak perbedaan pendapat, dan kita diperintahkan untuk tetap berlaku lemah lembut terhadap pihak yang berselisih pendapat dengan kita. Dalam bermusyawarah pun kita diperintahkan untuk bertekad bulat untuk melaksanakannya sesuai dengan syariat sebagai bentuk taqwa kepada Allah, dan ketika telah dicapai kesepakan makan kita harus harus bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut.

Dari penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik sebagai solusi dari setiap permasalahan yang kita hadapi. Kita dapat melakukan pengambilan keputusan dengan pendekatan apapun. Tidak salah jika kita menggunakan human judgement dalam proses pemilihan keputusan karena terdapat ilmu yang mengatur hal tersebut, namun yang terpenting adalah bahwa kita harus selalu melibatkan Allah dalam setiap usaha pencarian solusi kita. Sebagai seorang muslim kita meyakini bahwa setiap masalah datang dari Allah, dan harusnya kepada-Nya lah kita mengembalikan segala keputusan. Sebaik-baiknya metode yang kita gunakan, sebaik-baiknya analisa data yang kita lakukan, sudah pasti bahwa Allah lah yang lebih mengetahui mana yang terbaik untuk kita.

 

Penulis

Annisa Uswatun Khasanah, ST., M.Sc.

Dosen Teknik Industri UII

“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Imam As Sa’dy mengatakan di dalam tafsirnya, “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik yaitu dari sisi di mana beliau menghadiri sendiri suara hiruk pikuk dan langsung terjun ke medan laga. Beliau adalah orang yang mulia dan pahlawan yang gagah berani. Lalu bagaimana kalian menjauhkan diri kalian dari perkara yang Rasulullah bersungguh-sungguh melaluinya seorang diri? Maka jadikanlah dia sebagai panutan kalian dalam perkara ini dan sebagainya.”

Perbincangan tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kurikulum dan pengajar. Ada semacam idiom dalam kajian ilmu kurikulum yaitu, “Kalau ingin tahu bagaimana arah sebuah institusi pendidikan untuk beberapa tahun ke depan, lihat saja kurikulum pendidikan yang berlaku di institusi pendidikan tersebut”. Kalimat ini memberikan makna bahwa bentuk kurikulum pendidikan yang berlaku di sebuah Institusi pendidikan akan menentukan bentuk seperti apa yang diinginkan oleh institusi pendidikan tersebut dalam membentuk outcome-nya. Inilah pula yang menyebabkan kurikulum pendidikan sebuah institusi pendidikan belum tentu cocok di institusi pendidikan lain atau sebaliknya. Ketidakcocokan tersebut disebabkan oleh perbedaan ideologi dan falsafah hidup institusi pendidikan masing-masing.

Secara konseptual, kita telah menyadari perlunya penanaman nilai-nilai karakter kepada generasi muda. Keberhasilan penumbuhkembangan nilai-nilai karaker tersebut memerlukan keteladan dari semua pihak, bukan semata-mata mengadalkan penerapan kurikulum. Keteladan tersebut harus ditunjukkan oleh semua orang yang merasa bertanggung jawab akan kelangsung kehidupan untuk masa mendatang. Ketelandan tersebut juga harus dicontohkan sebab keteladanan bukan hanya pengetahuan tetapi sikap mental yang merasuk kedalam jiwa. Pemerintah, masyarakat, keluarga, warga sekolah, dan individu pelajar itu sendiri harus menjadi contoh untuk melakukan keteladan dalam setiap aspek kehidupan dan perbuatan sehari-hari.

Sekedar memberikan contoh bentuk keteladan Rasullulah. Terdapatlah seorang pengemis Yahudi buta yang setiap hari menempati salah satu sudut pasar di Kota Madinah. Bukan cuma mengemis, Ia juga berseru kepada orang-orang yang berlalu-lalang di pasar tersebut, “Jangan dekati Muhammad! Jauhi dia! Jauhi dia! Dia orang gila. Dia itu penyihir. Jika kalian mendekatinya maka kalian akan terpengaruh olehnya.” Hampir setiap hari,  pengemis tersebut di temani oleh seseorang di sampingnya. Orang tersebut dengan lemah lembut dan kasih sayang menyuapi. Orang tersebut hanya terdiam saat teriakan makian dan hinaan itu keluar dari mulut Yahudi buta tersebut. Ia terus menyuapi makanan ke mulut pengemis itu hingga habis.

Sampai pada suatu hari, si Pengemis Yahudi Buta tidak lagi ditemani lagi oleh orang yang menyuapinya. Kemudian datanglah orang lain yang membawakan nasi bungkus untuknya dan menawarkan diri untuk menyuapinya. Orang tersebut adalah Abu Bakar Ash Shiddiq. Mendengar setiap cacian, ia berusaha menahan diri dan berusaha dengan lemah lembut menawarkan diri untuk memberi makan. Namun bukan rasa terima kasih yang di dapat, justru penyangkalan dan hardikan keras yang didapat. “Kau bukan orang yang biasa memberiku makanan,” hardik si pengemis buta. “Aku orang yang biasa,” kata Abu Bakar.  “Tidak. Kau bukan orang yang biasa ke sini untuk memberiku makanan. Apabila dia yang datang, maka tak susah tangan ini memegang dan tak susah mulutku mengunyah. Dia selalu menghaluskan terlebih dahulu makanan yang akan disuapinya ke mulutku.” Begitulah penyangkalan si pengemis buta kepada Abu Bakar.

Mendengar perkataan pengemis buta tersebut, Abu Bakar tak kuasa membendung rasa harunya dan berkata, “Memang, benar, Aku bukan orang yang biasa datang membawa makanan dan memberimu suapan atas makanan itu. Aku memang tidak bisa selemah lembut orang itu.” “Ketahuilah bahwa Aku adalah salah satu sahabat orang yang setiap hari menyuapimu tersebut. Orang yang dulu biasa ke sini dan memberimu makan dan menyuapimu telah wafat. Aku hanya ingin melanjutkan amalan yang ditinggalkan orang tersebut, karena Aku tidak ingin melewatkan satu pun amalannya setelah kepergiannya.”

Si pengemis buta Yahudi tersebut terdiam sejenak dan bertanya kepada Abu Bakar siapa orang yang selama ini  memberinya makan dan juga menyuapinya. “Ketahuilah, bahwa Ia adalah Muhammad, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Orang yang setiap hari kau hinakan dan kau rendahkan di depan orang banyak di pasar ini,” jawab Abu Bakar. Si pengemis Yahudi yang buta itu tertegun. Tak ada kata kata yang keluar dari mulutnya, namun tampak bibirnya bergetar. Air mata pengemis buta itu perlahan jatuh membasahi pipinya yang mulai berkeriput. Si pengemis buta tersadar, betapa orang yang selama ini ia hinakan justru memperlakukannya dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Ia justru malah merasa lebih hina dari apapun yang ada di dunia ini. “Selama ini aku telah menghinanya, memfitnahnya, bahkan saat Muhammad sedang menyuapi aku. Tapi dia tidak pernah memarahiku. Dia malah dengan sabar melembutkan makanan yang di masukkan ke dalam mulutku. Dia begitu mulia.” Kata pengemis buta dalam tangisnya. Pada saat itu juga, Si Pengemis Yahudi buta bersaksi di hadapan Abu Bakar Ash Shiddiq, mengucapkan dua kalimat syahadat ‘La ilaha illallah. Muhammadar Rasulullah.’ Si Pengemis buta memilih memeluk Islam setelah cacian dan sumpah serapahnya kepada Muhammad SAW dibalas dengan kasih sayang oleh nabi akhir zaman tersebut.

Melalui kisah keteladanan tersebut, kita dapat mengambil hikmah dan menerapkannya dalam mengaplikasikan kurikulum pada proses belajar mengajar. Beberapa hikmah diantaranya adalah menumbuhkan kasih sayang terhadap peserta didik serta menyertakan dalam proses penyampaian knowledge, menyampaiakan materi pembelajaran  dengan sepenuh hati melalui berbagai mekanisme penyampaian materi, kesabaran dalam mendengarkan setiap keluhan, terus bekerja secara istiqomah, dan tidak menampakan ego keakuan.

Tugas sebagai pendidik akan menjadi ladang amal dan dituntut untuk memberikan pengajaran yang terintegral dan holistik. Menjadi pendidik tidak hanya mengajar peserta didik menjadi cerdas dan tahu ilmu pengetahuan, tapi mendidik dengan dedikasi tinggi (ikhlas) serta penuh keteladanan. Peserta didik akan menjadikan tenaga pendidik sebagai suri tauladan dalam menyerap ilmu pengetahuan dan mengaplikasikannya di masyarakat. Wallahu’alam.

 

Penulis:

Yuli Agusti Rochman, ST., M.Eng

KaProdi Teknik Industri UII